oleh: Ma'zumi
Apa yang terlintas di benak kita
ketika hendak menyambut bulan suci Ramadhan? Terpikirkan oleh kita di dalamnya
adalah bulan seribu hikmah dengan amal ibadah berlipat ganda pahala.
Terbayangkan pula akan kesibukan diri dengan ibadah puasa, sahur, shalat
tarawih, buka, bersama, tadarrus Alquran dan sebagianya.
Akan tetapi ketika Ramadhan tiba,
hari pertama kita sambut dengan rasa bahagia tak terhingga. Tujuh hari kemudian
dan seterusnya kita abaikan satu persatu semua itu. Berbuka dan sahur lebih
identik dengan budaya konsumtif, apalagi menjelang Idul Fitri. Shalat tarawih
hanya ramai pada lima hari pertama, selanjutnysa tersisa beberapa shaf saja
hinga menjelang lebaran Idul Fiitri. Puasa memang tidak ditinggalkan, tapi
esensinnya selalu dilupakan.
Alquran menjadi tidak menarik,
karena musik lebih akrab dan nyaman hinggap di telinga kita. Bagaimana dengan
masjid? “Ah, sudahlah. Abaikan saja”. Uforia Alun-alun lebih menarik daripada
melihat masjid dan mengikuti jamaah tadarrus. Karena maaf masjid hanya
akrab digunakan buat numpang tidur atau hanya sekedar numpang “buang air
kecil”. Astaghfirullahal’adzim.
Apakah ini bentuk kemunafikan kita
yang menginginkan redupnya cahaya Allah SWT? Sungguh ironis bulan suci ini
dinodai oleh perilaku kita sendiri yang memiliki predikat muslim. “ mereka
hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka.
tetapi Allah tetap menyempurnakan caha-Nya meskipun orang-orang kafir
membencinya”. (Qs. Ash-Shaff/61: 8).
Tadabburilah ayat tersebut. Bahwa
orang-orang kafir selalu berkehendak untuk memadamkan cahaya Allah (agama
Islam). Akan tetapi kenapa kita sendiri yang berperan di dalamnya? Apakah ini
sebuah bentuk kemunafikan kita sebagai muslim? Boleh kita mengelak, tapi
realita sudah berjalan demikian.
Ramadhan adalah bulan yang identik
dengan Alquran. Mukjizat abadi yang tak akan pernah lekang di makan zaman. Jika
kita menginginkan agar memperoleh hikmah dari Alquran maka hendaknya kita
senantiasa membacanya, mendengarkan, menghafal, mentadabburi, dan mengamalkan.
Atau minimal memilih daripada itu.
Memang ahir-ahir ini banyak sekali
perkembangan dan bermunculannya program tahfidzul Quran di berbagai pesantren.
Kita akui ini sebagai langkah maju dari umat Islam yang kini sedang tumbuh dengan
adanya program tersebut. Akan tetapi, perlu adanya sikap yang tegas terhadap
lingkungan sekitar, semisal memberantas kemaksiatan yang tersebar di halaman
masjid (Alun-alun) karena tidak pantas halaman masjid digunakan untuk tempat
maksiat.
Bagaimana cahaya Allah itu kita
dapatkan jika kita selalu mengabaikan Alquran dan masjid? Padahal peradaban
Isalm pertama kali muncul dibawa oleb Nabi Muhammad SAW adalah mengedepankan
masjid sebagai pusat keilmuan dan Ibadah kaum muslimin. Serta di dalamnya sudah
tentu diajarkan nilai-nilai kehidupan yang bersumber dari Alquran.
Hal ini diikuti oleh para sahabat
(Khalifah), masa kerajaan-kerajaan islam hingga runtuhnya turki Ustmani pada
tahun 1924 M. Pada masa-masa tersebut masjid masih berfungsi sebagai simbol
peradaban Islam. Mengapa demikian? Karena dijelaskan dengan sangat gamblang
oleh Alquran bahwa cahaya Allah itu berada di masjid-masjid.
Setelah Alquran berbicara mengenai
cahaya Allah, maka ayat selanjutnya mengemukakan dimana cahaya Allah tersebut?.
jawabannya adalah di masjid. “(cahaya itu) di rumah-rumah (masjid) yang di
sana telah diperintahkan Allah untuk memuliakan dan menyebut nama-Nya, di sana
bertasbih (menyucikan) pada waktu pagi dan petang” (Qs. An-Nur/24: 36).
Cahaya Allah di atas cahaya. Cahaya
yang mampu menerangi seluruh penjuru bumi dengan kehendak-Nya. Dengan cahaya
tersebut kita dapat memperoleh petunjuk Ilahi sebagai kabar gembira bagi
orang-orang beriman. Bukan orang-orang
yang mengabaikan perintah agama denga mudahnya. Karena bumi yang luas
akan terasa sempit di hati seseorang yang mengabaikan cahaya Allah SWT
(masjid).
Begitu pula dengan Alquran. Karena
Alquran dan masjid tidak bisa dipisahkan sebagai sesuatu yang berbeda.
Kedua-duanya saling keterkaitan dan ketergantungan. Di masjid sudah tentu orang
harus membaca Alquran bukan sekedar mampir lalu kemudian pergi, minimal hati merasa
tersentuh ketika mendengar tadarrus Alquran. Tidak sepantasnya masjid kosong
dari suara orang mengaji.
Oleh karena itu Alquran menjadi
cahaya yang merasuk ke dalam hati orang-orang beriman. Telah ditegaskan bahwa
orang-orang yang mengabaikan Alquran akan menyebabkan hatinya terkunci. “Maka
tidakkah mereka mentadabburi (menghayati) Alquran, ataukah hati mereka sudah
terkunci?” (Qs. Muhammad/47: 24).
Kalimat tersebut mengandung
pertanyaan yang dijawab dengan sikap kita yang seharusnya selalu membiasakan
membaca dan mentadabburinya. Apa jadinya
jika Rasulullah SAW hari ini masih hadir
di tengah-tengah kita. Apa yang akan Beliau katakan? “dan Rasul berkata, “Ya
Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan Alquran ini diabaikan” (Qs.
Alfurqan/25: 30).
Apa yang terlintas pada pikiran
seorang muslim ketika diberikan pertanyaan, “apa pedoman hidup seorang
muslim?”. Tentu secara aklamasi akan menjawab, “pedoman hidup kita adalah
Alquran”. Enyahkanlah jawaban itu jauh-jauh dari telinga kita. Karena yang sekarng
kita butuhkan adalah langkah pasti menuju peradaban abadi, yakni peradaban yang
ditunjang dengan bangkitnya generasi Islam yang mencintai Alquran.
No comments:
Post a Comment