Monday, June 13, 2016

Menghidupkan Cahaya Allah SWT



oleh: Ma'zumi
 
            Apa yang terlintas di benak kita ketika hendak menyambut bulan suci Ramadhan? Terpikirkan oleh kita di dalamnya adalah bulan seribu hikmah dengan amal ibadah berlipat ganda pahala. Terbayangkan pula akan kesibukan diri dengan ibadah puasa, sahur, shalat tarawih, buka, bersama, tadarrus Alquran dan sebagianya.

            Akan tetapi ketika Ramadhan tiba, hari pertama kita sambut dengan rasa bahagia tak terhingga. Tujuh hari kemudian dan seterusnya kita abaikan satu persatu semua itu. Berbuka dan sahur lebih identik dengan budaya konsumtif, apalagi menjelang Idul Fitri. Shalat tarawih hanya ramai pada lima hari pertama, selanjutnysa tersisa beberapa shaf saja hinga menjelang lebaran Idul Fiitri. Puasa memang tidak ditinggalkan, tapi esensinnya selalu dilupakan.

            Alquran menjadi tidak menarik, karena musik lebih akrab dan nyaman hinggap di telinga kita. Bagaimana dengan masjid? “Ah, sudahlah. Abaikan saja”. Uforia Alun-alun lebih menarik daripada melihat masjid dan mengikuti jamaah tadarrus. Karena maaf masjid hanya akrab digunakan buat numpang tidur atau hanya sekedar numpang “buang air kecil”. Astaghfirullahal’adzim.

            Apakah ini bentuk kemunafikan kita yang menginginkan redupnya cahaya Allah SWT? Sungguh ironis bulan suci ini dinodai oleh perilaku kita sendiri yang memiliki predikat muslim. “ mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka. tetapi Allah tetap menyempurnakan caha-Nya meskipun orang-orang kafir membencinya”. (Qs. Ash-Shaff/61: 8).

            Tadabburilah ayat tersebut. Bahwa orang-orang kafir selalu berkehendak untuk memadamkan cahaya Allah (agama Islam). Akan tetapi kenapa kita sendiri yang berperan di dalamnya? Apakah ini sebuah bentuk kemunafikan kita sebagai muslim? Boleh kita mengelak, tapi realita sudah berjalan demikian.

            Ramadhan adalah bulan yang identik dengan Alquran. Mukjizat abadi yang tak akan pernah lekang di makan zaman. Jika kita menginginkan agar memperoleh hikmah dari Alquran maka hendaknya kita senantiasa membacanya, mendengarkan, menghafal, mentadabburi, dan mengamalkan. Atau minimal memilih daripada itu.

            Memang ahir-ahir ini banyak sekali perkembangan dan bermunculannya program tahfidzul Quran di berbagai pesantren. Kita akui ini sebagai langkah maju dari umat Islam yang kini sedang tumbuh dengan adanya program tersebut. Akan tetapi, perlu adanya sikap yang tegas terhadap lingkungan sekitar, semisal memberantas kemaksiatan yang tersebar di halaman masjid (Alun-alun) karena tidak pantas halaman masjid digunakan untuk tempat maksiat.

            Bagaimana cahaya Allah itu kita dapatkan jika kita selalu mengabaikan Alquran dan masjid? Padahal peradaban Isalm pertama kali muncul dibawa oleb Nabi Muhammad SAW adalah mengedepankan masjid sebagai pusat keilmuan dan Ibadah kaum muslimin. Serta di dalamnya sudah tentu diajarkan nilai-nilai kehidupan yang bersumber dari Alquran.

            Hal ini diikuti oleh para sahabat (Khalifah), masa kerajaan-kerajaan islam hingga runtuhnya turki Ustmani pada tahun 1924 M. Pada masa-masa tersebut masjid masih berfungsi sebagai simbol peradaban Islam. Mengapa demikian? Karena dijelaskan dengan sangat gamblang oleh Alquran bahwa cahaya Allah itu berada di masjid-masjid.

            Setelah Alquran berbicara mengenai cahaya Allah, maka ayat selanjutnya mengemukakan dimana cahaya Allah tersebut?. jawabannya adalah di masjid. “(cahaya itu) di rumah-rumah (masjid) yang di sana telah diperintahkan Allah untuk memuliakan dan menyebut nama-Nya, di sana bertasbih (menyucikan) pada waktu pagi dan petang” (Qs. An-Nur/24: 36).

            Cahaya Allah di atas cahaya. Cahaya yang mampu menerangi seluruh penjuru bumi dengan kehendak-Nya. Dengan cahaya tersebut kita dapat memperoleh petunjuk Ilahi sebagai kabar gembira bagi orang-orang beriman. Bukan orang-orang  yang mengabaikan perintah agama denga mudahnya. Karena bumi yang luas akan terasa sempit di hati seseorang yang mengabaikan cahaya Allah SWT (masjid).

            Begitu pula dengan Alquran. Karena Alquran dan masjid tidak bisa dipisahkan sebagai sesuatu yang berbeda. Kedua-duanya saling keterkaitan dan ketergantungan. Di masjid sudah tentu orang harus membaca Alquran bukan sekedar mampir lalu kemudian pergi, minimal hati merasa tersentuh ketika mendengar tadarrus Alquran. Tidak sepantasnya masjid kosong dari suara  orang mengaji.

            Oleh karena itu Alquran menjadi cahaya yang merasuk ke dalam hati orang-orang beriman. Telah ditegaskan bahwa orang-orang yang mengabaikan Alquran akan menyebabkan hatinya terkunci. “Maka tidakkah mereka mentadabburi (menghayati) Alquran, ataukah hati mereka sudah terkunci?” (Qs. Muhammad/47: 24).

            Kalimat tersebut mengandung pertanyaan yang dijawab dengan sikap kita yang seharusnya selalu membiasakan membaca dan  mentadabburinya. Apa jadinya jika Rasulullah SAW hari ini masih  hadir di tengah-tengah kita. Apa yang akan Beliau katakan? “dan Rasul berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan Alquran ini diabaikan” (Qs. Alfurqan/25: 30).

            Apa yang terlintas pada pikiran seorang muslim ketika diberikan pertanyaan, “apa pedoman hidup seorang muslim?”. Tentu secara aklamasi akan menjawab, “pedoman hidup kita adalah Alquran”. Enyahkanlah jawaban itu jauh-jauh dari telinga kita. Karena yang sekarng kita butuhkan adalah langkah pasti menuju peradaban abadi, yakni peradaban yang ditunjang dengan bangkitnya generasi Islam yang mencintai Alquran.

No comments:

Post a Comment

Tugas Mapel Al-Qur'an dan Hadits Kelas XI A dan B MA Misbahunnur

Clue: *Untuk Dapat Menjawab Pertanyaan Materi Al-Qur'an dan Hadits maka ada syarat dan ketentuan yang harus dikerjakan. *Syaratanya a...