Monday, April 23, 2018

Manusia Tanpa Buku

Oleh: Ma'zum Ibn Shabir
Alumni MTA Al-Amien Prenduan, 2012.

            Manusia sebagai makhluk Allah Swt yang mulia, tentu diberikan keistimewaan yang lebih dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Keistimewaan tersebut terkandung dalam penciptaannya dengan bentuk dan rupa yang sempurna. Ditambah dengan akal yang berfungsi membedakannya dengan hewan.


            Dalam kajian filsafat, akal menempati  urutan pertama yang dikaji dan sebagai sumber panduan menjalani kehidupan. Imam Ibnul Jauzi mengatakan, “Dengan akal, manusia dapat mengatasi berbagai kesulitan, menegaskan jati dirinya sebagai makhluk yang lebih mulia dibanding binatan. Dengan akal itu pula ia dapat membuat kapal yang dapat mengantarkannya ke seberang lautan luas, mampu  menaklukkan gelombang.”


            Al-Hasan berkata, “Agama seseorang tidak akan bisa sempurna sampai akalnya menjadi sempurna. Allah tiada menitipkan akal kepada seseorang, melainkan agar suatu saat nanti bisa digunakan untuk menyelamatkan dirinya.” Atha’ bin Abu Rabah pernah ditanya, “Apa yang paling utama yang diberikan kepada manusia?” Ia menjawab, “Akal yang berasal dari Allah.” (Jauzi, 2014: 17).

            Buya Hamka mengatakan, “Sebelum Islam mengajak pemeluknya mencapai segala keperluan yang berhubungan dengan dunia, lebih dahulu diajak mempergunakan segenap upaya bagi membersihkan akal; dalam paham, jitu pikiran dan jauh pandangan. Agama Islam amat menghormati akal. Karena tidak akan tercapai ilmu kalau tidak ada akal. Sebab itu, Islam adalah agama ilmu dan akal.”       Akan tetapi akankah akal mampu berjalan sendiri tanpa adanya panduan?

            Nabi Muhammad Saw. tatkala sebelum diangkat menjadi nabi dan rasul, ia dihinggapi dengan kegelisahan kaum kafir Quraisy yang semakin bertambah kejahiliyahannya. Hingga sampai pada tahap mengotori rumah suci Allah Swt. dengan berbagai macam berhala di sekelilingnya, hingga berjumlah 360 berhala.

            Kegelisahan ini membawanya untuk menjauh dari gemerlap kota Mekkah yang diliputi dengan berbagai macam penyimpangan tersebut. Gua Hira menjadi pilihannya. Merenung dan berzikir, tentang pencarian hakikat dan solusi dari apa yang sedang dihadapi. Hingga turunlah lima ayat pertama dalam Surat al- ‘Alaq, dengan perintah pertama diawali dengan kata Iqra’ (Bacalah!).

            Hemat penulis, kegelisahan Rasulullah Saw. tersebut dijawab oleh Allah Swt. dengan menurunkan al-Qur’an sebagai panduan hidup. Tentunya al-Qur’an saat ini sudah berbentuk kitab yang tersusun rapi urutan surat dan ayatnya. Sudah lengkap menjadi panduan hidup bagi manusia hingga akhir zaman.

            Ibarat seseorang yang hendak melakukan perjalanan jauh, tentulah orang tersebut membutuhkan peta/petunjuk arah agar perjalanannya tidak salah arah atau tersesat. Atau perumpamaan lain, seseorang yang hendak menjalankan mesin (Mobil, motor dsb) membutuhkan buku panduan.


            Perkembangan teknologi yang semakin melesat, menuntut sebuah gerakan pemikiran untuk mengimbangi dampak negatif yang ditimbulkan. Jika tidak, maka kebergantungan manusia terhadapnya akan menjadi penyakit umat yang sulit untuk diatasi. Dalam hal ini adalah Gadget/Smartphone yang berhasil mengalihkan dari hal-hal yang bermanfaat.

            Gadget sudah menjadi gaya hidup. Kehadirannya bukan lagi sekedar alat komunikasi, tetapi sudah menjadi panduan dalam menjalankan sebagian aktifitas kehidupan. Dampak negatif yang sangat serius adalah ketika benda kecil ini telah mengalihkan penggunanya dari “Sumber ilmu pengetahuan” yaitu buku.

            Ketika manusia terjauhkan dari buku, secara otomatis ia menjadi pribadi yang miskin intelektual.  Generasi yang terjangkit penyakit model ini, sangat sulit untuk disembuhkan. Terlebih jika sudah merasuk ke dalam dunia pendidikan. Contoh kecil, seorang santri yang dijenguk oleh kedua orang tuanya, tatkala diberikan gadget oleh orang tuanya, maka hilanglah kehangatan keluarga. Ia lebih memilih mencari perhatian di dunia maya, dibanding perhatian orang tuanya.

            Kasus tersebut menjadi PR besar bagi para orang tua. Ia harus mampu bersaing dengan benada mati yang menurut anaknya lebih menarik. Bagaimana jika virus ini menjangkit para pendidik? sekali lagi, generasi tanpa buku akan melahirkan tunas yang miskin intelektual.

            Seseorang tidak mungkin bisa menyampaikan ilmu tanpa sumber (buku). Pendapat akal seharusnya menjadi interpretasi dari proses membaca. Bukan sebaliknya. memang, di dalam Gadget bisa dimanfaatkan untuk membaca berbagai macam literature dengan mendownload bermacam-macam e-book dengan gratis. Akan tetapi, perlu kiranya kita berpikir kritis, semudah itukah memahami suatu ilmu?

            Al-Ustaz Samson Rahman M.A (penerjemah buku La Tahzan/Jangan Bersedih!) pernah mengatakan dalam salah satu akun sosialnya, “Seseorang bisa saja membeli banyak buku, tetapi tidak semua orang bisa membeli pemahaman.” Karena, untuk memperoleh pemahaman dibutuhkan seorang guru dengan ketajaman analisis terhadap suatu ilmu.

            Untuk itu, guru berperan penting dalam memberikan pemahaman dari pesan-pesan yang tersirat dari sebuah buku tersebut. Memberikan pemahaman berdasarkan ilmu. Inilah tradisi ilmu yang perlahan mulai menghilang; menyampaikan ilmu berdasarkan sumber (buku) yang dapat dipercaya. 

            Guru dan buku adalah dua sisi yang tidak boleh dipisahkan. Ibarat kedua sisi mata uang, jika salah satunya hilang maka sudah menjadi barang yang tidak lagi bernilai. Sedangkan generasi tanpa buku, seperti kelompok kaum yang sedang dalam perjalanan. Tiada panduan, maka akan tersesat.

Al-Qur’an Sebagai Kalamullah



Oleh: Ma’zum Ibn Shabir
Alumni MTA Al-Amien Prenduan 2012, Conspirailent.

            Hari ini kita kembali diguncangkan dengan opini dalam beragama. Setelah kasus sebelumnya yang sempat viral tentang puisi Ibu Sukmawati Sukarno Putri. Tentang kitab suci, apakah dibenarkan ketika seseorang mengatakan kitab suci sebagai sesuatu yang bersifat fiksi?

            Agar lebih adil, terlebih dahulu kita bahas secara dikotomis. Antara kitab suci kaum muslimin dan kitab suci non muslim. Sebagai kaum muslimin, tentu pasti meyakini bahwa kitab suci non muslim  adalah fiksi, sebab di dalamnya sudah terjadi revisi sesuai dengan kehendak nafsu mereka.

            Akan tetapi, al-Qur’an sendiri secara tegas menolak dikatakan sebagai kitab yang fiksi. Sebagaimana firman Allah Sw, “..al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, tetapi membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya. Menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Qs.Yusuf:111).

            `Pandangan Ahlussunnah Wal Jama’ah. Al-Qur’an lebih tepatnya disebut sebagai Kalamullah (Perkataan Allah). Ketika dikatakan sebagai Kalamullah maka tidak mungkin terlepas dari-Nya. Berbeda dengan jika dikatakan sebagai kitab fiksi. Karena fiksi adalah wilayah akal manusia. Hal serupa pernah dikatakan oleh Faham Muktazilah yang mengatakan al-Qur’an adalah “Makhluk.”

            Lantas apa perbedaan antara Kalamullah dan Makhluk? Kalamullah tidak mungkin terlepas dari zhat-Nya, sedangkan makhluk (ciptaan) terlepas dari-Nya. Ibarat seseorang berbicara dan berbuat sesuatu. Maka, pembicaraan tersebut merupakan bagian dari esensi pribadi (Hasil pikiran) yang tidak pernah lepas. Sedangkan apa yang manusia perbuat menghasilkan suatu benda (Gedung dan lain-lain) maka, hal itu terpisah darinya.

            Terkenanglah kisah tentang kesungguhan seorang ulama yang bernama Imam Ahmad bin Hambal yang berpegang teguh dengan pendiriannya bahwa al-Qur’an adalah Kalamullah dan bukan makhluk. Pada pemerintahan sebelum al-Makmun, yakni di zaman Khalifah Harun al-Rasyid ada seorang ulama yang bernama Basyar al-Marsyi yang berpendapat bahwa al-Qur’an adalah makhluk.

            Harun al-Rasyid tidak menerima pendapat ini. Bahkan terhadap orang yang mengatakannya diberi hukuman berat. Ketegasan khalifah ini menyebabkan Basyar melarikan diri ke Baghdad. Harun al-Rasyid pernah berkata, “Kalau umurku panjang dan dapat berjumpa dengan Basyar, maka akan ku bunuh dia dengan cara yang belum pernah aku lakukan terhadap yang lain. Akhirnya selama 20 tahun Basyar tetap dalam pelariannya.

            Setelah Harun al-Rasyid meninggal dunia dan digantikan oleh putera beliau Al-Amien barulah Basyar berani menampakkan diri. Diapun kembali melontarkan pendapatnya bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Namun, Khalifah al-Amien sependapat dengan mendiang ayahnya, yakni menentang pendapat tersebut dan mengancam siapapun yang mengatakannya dengan hukuman yang berat.
            Baru kemudian setelah pemerintahan jatuh ke tangan saudara al-Amin, yakni al-Makmun faham tentang kemakhlukan al-Qur’an diterima. Al-Makmun bukan hanya terpengaruh, tetapi juga memerintahkan semua rakyatnya agar mengikuti faham tersebut. Dan barang siapa yang berpendapat lain akan dihukum dengan seberat-beratnya. Banyak sekali ulama yang mengikuti pendapat ini karena takut disiksa.

            Maka Imam Ahmad bin Hambal adalah ulama yang satu-satunya yang bersikeras menentang pendapat tersebut dan siap menghadapi apapu risikonya. Secara terus terang, beliau mengatakan di hadapan Khalifah al-Makmun bahwa al-Qur’an bukan makhluk (Yang dijadikan Allah) melainkan Kalamullah. Beliau pun ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara.

            Dihadapkanlah Imam Ahmad untuk ditanya pendiriannya. Namun, beliau tetap dengan pendiriannya bahwa al-Qur’an bukanlah makhluk, melainkan Kalamullah. Dan beliau pun menegaskan tidak akan mencabut pendiriannya, walau apapun yang terjadi. Mendengar pernyataan Imam Ahmad, Khalifah langsung memerintahkan kepada prajurit untuk mencambuk beliau.

            Ketika cambukan pertama mengenai punggung beliau, beliau berucap, “Bismillah”. Ketika cambukan kedua beliau berucap, “La haula wala quwata illa billah”. Ketika cambukan yang ketiga beliau berucap, “Al-Qur’an Kalamullah, bukan makhluk!” dan ketika cambukan keempat beliau membaca ayat, “Katakanlah bahwa sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang sudah ditetapkan Allah kepada kami.

            Penyiksaan dan faham kemakhlukan al-Qur’an masih saja terjadi meskipun telah berganti pemerintahan. Ketika Khalifah al-Makmun meninggal dunia pada tahun 218 (833) digantikan oleh saudaranya bernama Ishaq bin Muhammad bin Harun al-Rasyid yang bergelar al-Mu’tashim billah. Faham kemakhlukan ini masih dijalankan. Bahkan Imam Ahmad bin Hambal mendapatkan penyiksaan tatkala masih berpuasa di bulan Ramadhan.

            Setelah al-Mu’tasim, digantikan lagi oleh puteranya al-Watsiq yang juga masih mempertahankan faham kemakhlukan al-Qur’an. Akan tetapi, setelah al-Watsiq meninggal dan digantikan oleh saudaranya bernama al-Mutawakkil faham Mu’tazilah tersebut dicabut dan semua ulama dibebaskan termasuk Imam Ahmad bin Hambal.

            Demikian kisah perjuangan para ulama mempertahankan keotentikan al-Qur’an. Karena mereka memahami bahwa al-Qur’an bukanlah kitab suci fiksi, melainkan adalah Kalamullah yang tidak terlepas dari zhat-Nya. Hal serupa pernah terjadi pada tokoh-tokoh ulama Ahlussunnah wal Jama’ah. Imam al-Bukhari keluar dari daerahnya melarikan diri sambil berdoa, “Ya Allah, genggamlah aku pada-Mu dalam keadaan selamat dari fitnah.” 


Sumber: Kitab Jauharu at-Tauhid, Syeikh Ibrahim al-Laqqani

Pemimpin Berkarakter


Oleh: Ma’zum Ibn Shabir, S.Pd
 
Kekuasaan menurut Ibnu Khaldun merupakan jabatan kedudukan yang alami bagi manusia. Seba, manusia tidak mungkin dapat melangsungkan hidupnya dan melanggengkan eksistensinya, kecuali dalam sistem kemasyarakatan dan saling membantu di antara mereka dalam upaya memperoleh kebutuhan-kebutuhan pokok (Mukaddimah:328).

Dalam tradisi pondok modern, mewajibkan para santrinya untuk melalui fase pendidikan karakter melalui media organisasi santri. Khususnya bagi santri senior, diberikan amanah untuk menjadi pemimpin. Hal ini yang sangat berbeda dengan karakter pendidikan yang tidak diperoleh dari sekolah umum.

Kemajuan pondok pesantren adalah buah dari pemikiran atau ide-ide pimpinan pondok, guru-guru, pengurus, serta pihak-pihak eksternal yang terkait. Lihatlah bangunan-bangunan atau program yang selalu berkembang, demikian adalah gambaran dari ide-ide pengurus tersebut dalam standar lembaga pendidikan. Selanjutnya, hal tersebut menjadi sebuah bekal bagi para santri dalam keikutsertaan membangun sebuah bangsa. 

Mereka (santri) dituntut untuk berimajinasi menata sebuah negara, membuat peraturan perundang-undangan, memberikan sanksi dan bersikap bijak sebagai pemimpin. Tentunya dalam koridor kepemimpinan yang memiliki teladan. Kesempatan emas inilah yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin oleh santri untuk menjadi sosok pemimpin idola mereka.

Dalam hal ini Umar bin Khattab pernah berwasiat, “Belajarlah sebelum kalian menjadi pemimpin.” Ima al-Bukhari mengomentari atsar ini, “Juga setelah kalian menjadi pemimpin, sebab, para sahabat tetap belajar meskipun sudah berusia lanjut.” Ibnu Hajar juga memberikan komentar, bahwa Abu Bakar mengatakan demikian khawatir dipahami bahwa kepemimpinan itu menghalangi seseorang untuk terus belajar. (Ensiklopedi Sahabat:187).

Menjadi pemimpin, harus bersiap diri menjadi jiwa pembelajar. Belajar dari kepemimpinan orang-orang yang benar. Jujur, adil, sederhana, mencintai rakyatnya, dan rakyat pun akan mencintainya. Lihatlah Abu Bakar ash-Shiddiq, pemimpin yang rakyat pun segan terhadapnya. Umar pun pernah mengatakan, “Lebih baik aku didahului lalu leherku ditebas oleh seseorang daripada diharuskan memimpin suatu kaum yang di antara mereka terdapat Abu Bakar.”

Abu Bakar terkenal dengan sifat lemah lembut. Akan tetapi mempunyai ketegasan yang tajam. Tatkala menjadi khalifah, ia dengan tegas memberangkatkan pasukan perang muslimin yang dipimpin oleh seorang Usamah bin Zaid (berumur 18 tahun) untuk berperag melawan romawi. Tidak sedikit sahabt memprotes keputusan tersebut. Akan tetapi, karena ini adalah amanah Rasulullah Saw sebelum wafat, Abu Bakar tetap berkomitmen.

Akhirnya denga izin Allah Swt. pasukan yang dipimpin oleh Usamah bin Zaid memperoleh kemenangan. Padahal, jika dilihat dari sisi sosial-politik di Madinah yang masih kacau-balau tersebut, keputusan tersebut sangatlah berisiko besar bagi keamanan masyarakat di Madinah.

Ali bin Abi Thalib memberika komentar terhadap kepemimpinan Abu Bakar, “Engkau telah membuat orang setelahmu lelah, selelah-lelahnya.” Ungkapan ini menurut Ahli Sejarah, Ustadz Budi Ashari, Lc bermakna bahwa kepemimpinan Abu Bakar sangatlah susah untuk ditiru khalifah setelahnya sehingga membuatnya lelah. Demikian dalam berorganisasi, generasi pemimpin setelahnya mempunyai beban berat, yakni mewujudkan kepemimpinan yang lebih baik dari sebelumnya. 

Berbeda dengan Abu Bakar, Umar bin Khattab mempunyai karater yang khas. Dengan ketajaman ilmu yang dimiliki. Umar adalah sosok pemimpin yang memiliki perpaduan antara ilmu dan amal, dibarengi dengan ketegasan dalam mengambil sebuah keputusan hukum. Tatkala akan diangkat menjadi seorang khalifah, Abdurrahman berkomentar atas perintah Abu Bakar, “Demi Allah, dia orang paling utama yang pernah kulihat, hanya saja sifatnya keras.”

Abu Bakar menanggapi, “Yang demikian itu karena dia melihatku terlalu lembut. Apabila urusan kekhalifahan ini diserahkan kepadanya, niscaya sifat keras itu akan luluh.” Dan benar saja, tatkla menjadi Khalifah ia berpidato di hadapan rakyatnya.

“Ketahuilah bahwa sifat keras itu telah melemah; memang masih ada, tetapi ia hanya ditujukan kepada orang-orag zalim dan orang-orang yang menyakiti kaum muslimin. Adapun mereka yang taat beragama dan bersahaja dalam kehidupan ini, sungguh aku lebih bersikap lemah lembut terhadap mereka daripada kelembutan yang terjalin di antara kalian.”

Dalam  berorganisasi, tidak semua anggota bagian dituntut untuk menjadi keras. Harus ada salah satu yang bersikap lembut. Hal ini menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Seperti dua karakter khusus yang dimiliki oleh Abu Bakar dan Umar. Selanjutnya, banyak karakter pemimpin dalam Islam yang patut ditiru dan dipelajari kehidupannya. Karena pemimpin yang baik pasti dicintai oleh rakyatnya. 


خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ ». قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ « لاَ مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلاَةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلاَتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلاَ تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ

“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai kalian. Mereka mendoakan kalian dan kalian pun mendoakan mereka. Sejelek-jelek pemimpin kalian adalah yang kalia membenci mereka dan mereka pun membenci kalian, juga kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.” Kemudian ada yang berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah menentang mereka dengan pedang? Rasulullah Saw bersabda, “Tidak, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian. Jika kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang kalian benci, maka bencilah amalannya dan janganlah melepas ketaatan kepadanya.” (HR. Muslim no.1855).
















Tugas Mapel Al-Qur'an dan Hadits Kelas XI A dan B MA Misbahunnur

Clue: *Untuk Dapat Menjawab Pertanyaan Materi Al-Qur'an dan Hadits maka ada syarat dan ketentuan yang harus dikerjakan. *Syaratanya a...