Monday, April 23, 2018

Al-Qur’an Sebagai Kalamullah



Oleh: Ma’zum Ibn Shabir
Alumni MTA Al-Amien Prenduan 2012, Conspirailent.

            Hari ini kita kembali diguncangkan dengan opini dalam beragama. Setelah kasus sebelumnya yang sempat viral tentang puisi Ibu Sukmawati Sukarno Putri. Tentang kitab suci, apakah dibenarkan ketika seseorang mengatakan kitab suci sebagai sesuatu yang bersifat fiksi?

            Agar lebih adil, terlebih dahulu kita bahas secara dikotomis. Antara kitab suci kaum muslimin dan kitab suci non muslim. Sebagai kaum muslimin, tentu pasti meyakini bahwa kitab suci non muslim  adalah fiksi, sebab di dalamnya sudah terjadi revisi sesuai dengan kehendak nafsu mereka.

            Akan tetapi, al-Qur’an sendiri secara tegas menolak dikatakan sebagai kitab yang fiksi. Sebagaimana firman Allah Sw, “..al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, tetapi membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya. Menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Qs.Yusuf:111).

            `Pandangan Ahlussunnah Wal Jama’ah. Al-Qur’an lebih tepatnya disebut sebagai Kalamullah (Perkataan Allah). Ketika dikatakan sebagai Kalamullah maka tidak mungkin terlepas dari-Nya. Berbeda dengan jika dikatakan sebagai kitab fiksi. Karena fiksi adalah wilayah akal manusia. Hal serupa pernah dikatakan oleh Faham Muktazilah yang mengatakan al-Qur’an adalah “Makhluk.”

            Lantas apa perbedaan antara Kalamullah dan Makhluk? Kalamullah tidak mungkin terlepas dari zhat-Nya, sedangkan makhluk (ciptaan) terlepas dari-Nya. Ibarat seseorang berbicara dan berbuat sesuatu. Maka, pembicaraan tersebut merupakan bagian dari esensi pribadi (Hasil pikiran) yang tidak pernah lepas. Sedangkan apa yang manusia perbuat menghasilkan suatu benda (Gedung dan lain-lain) maka, hal itu terpisah darinya.

            Terkenanglah kisah tentang kesungguhan seorang ulama yang bernama Imam Ahmad bin Hambal yang berpegang teguh dengan pendiriannya bahwa al-Qur’an adalah Kalamullah dan bukan makhluk. Pada pemerintahan sebelum al-Makmun, yakni di zaman Khalifah Harun al-Rasyid ada seorang ulama yang bernama Basyar al-Marsyi yang berpendapat bahwa al-Qur’an adalah makhluk.

            Harun al-Rasyid tidak menerima pendapat ini. Bahkan terhadap orang yang mengatakannya diberi hukuman berat. Ketegasan khalifah ini menyebabkan Basyar melarikan diri ke Baghdad. Harun al-Rasyid pernah berkata, “Kalau umurku panjang dan dapat berjumpa dengan Basyar, maka akan ku bunuh dia dengan cara yang belum pernah aku lakukan terhadap yang lain. Akhirnya selama 20 tahun Basyar tetap dalam pelariannya.

            Setelah Harun al-Rasyid meninggal dunia dan digantikan oleh putera beliau Al-Amien barulah Basyar berani menampakkan diri. Diapun kembali melontarkan pendapatnya bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Namun, Khalifah al-Amien sependapat dengan mendiang ayahnya, yakni menentang pendapat tersebut dan mengancam siapapun yang mengatakannya dengan hukuman yang berat.
            Baru kemudian setelah pemerintahan jatuh ke tangan saudara al-Amin, yakni al-Makmun faham tentang kemakhlukan al-Qur’an diterima. Al-Makmun bukan hanya terpengaruh, tetapi juga memerintahkan semua rakyatnya agar mengikuti faham tersebut. Dan barang siapa yang berpendapat lain akan dihukum dengan seberat-beratnya. Banyak sekali ulama yang mengikuti pendapat ini karena takut disiksa.

            Maka Imam Ahmad bin Hambal adalah ulama yang satu-satunya yang bersikeras menentang pendapat tersebut dan siap menghadapi apapu risikonya. Secara terus terang, beliau mengatakan di hadapan Khalifah al-Makmun bahwa al-Qur’an bukan makhluk (Yang dijadikan Allah) melainkan Kalamullah. Beliau pun ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara.

            Dihadapkanlah Imam Ahmad untuk ditanya pendiriannya. Namun, beliau tetap dengan pendiriannya bahwa al-Qur’an bukanlah makhluk, melainkan Kalamullah. Dan beliau pun menegaskan tidak akan mencabut pendiriannya, walau apapun yang terjadi. Mendengar pernyataan Imam Ahmad, Khalifah langsung memerintahkan kepada prajurit untuk mencambuk beliau.

            Ketika cambukan pertama mengenai punggung beliau, beliau berucap, “Bismillah”. Ketika cambukan kedua beliau berucap, “La haula wala quwata illa billah”. Ketika cambukan yang ketiga beliau berucap, “Al-Qur’an Kalamullah, bukan makhluk!” dan ketika cambukan keempat beliau membaca ayat, “Katakanlah bahwa sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang sudah ditetapkan Allah kepada kami.

            Penyiksaan dan faham kemakhlukan al-Qur’an masih saja terjadi meskipun telah berganti pemerintahan. Ketika Khalifah al-Makmun meninggal dunia pada tahun 218 (833) digantikan oleh saudaranya bernama Ishaq bin Muhammad bin Harun al-Rasyid yang bergelar al-Mu’tashim billah. Faham kemakhlukan ini masih dijalankan. Bahkan Imam Ahmad bin Hambal mendapatkan penyiksaan tatkala masih berpuasa di bulan Ramadhan.

            Setelah al-Mu’tasim, digantikan lagi oleh puteranya al-Watsiq yang juga masih mempertahankan faham kemakhlukan al-Qur’an. Akan tetapi, setelah al-Watsiq meninggal dan digantikan oleh saudaranya bernama al-Mutawakkil faham Mu’tazilah tersebut dicabut dan semua ulama dibebaskan termasuk Imam Ahmad bin Hambal.

            Demikian kisah perjuangan para ulama mempertahankan keotentikan al-Qur’an. Karena mereka memahami bahwa al-Qur’an bukanlah kitab suci fiksi, melainkan adalah Kalamullah yang tidak terlepas dari zhat-Nya. Hal serupa pernah terjadi pada tokoh-tokoh ulama Ahlussunnah wal Jama’ah. Imam al-Bukhari keluar dari daerahnya melarikan diri sambil berdoa, “Ya Allah, genggamlah aku pada-Mu dalam keadaan selamat dari fitnah.” 


Sumber: Kitab Jauharu at-Tauhid, Syeikh Ibrahim al-Laqqani

No comments:

Post a Comment

Tugas Mapel Al-Qur'an dan Hadits Kelas XI A dan B MA Misbahunnur

Clue: *Untuk Dapat Menjawab Pertanyaan Materi Al-Qur'an dan Hadits maka ada syarat dan ketentuan yang harus dikerjakan. *Syaratanya a...