Oleh: Ma’zum Ibn Shabir
Alumni MTA Al-Amien Prenduan 2012,
Conspirailent.
Hari
ini kita kembali diguncangkan dengan opini dalam beragama. Setelah kasus
sebelumnya yang sempat viral tentang puisi Ibu Sukmawati Sukarno Putri. Tentang
kitab suci, apakah dibenarkan ketika seseorang mengatakan kitab suci sebagai
sesuatu yang bersifat fiksi?
Agar
lebih adil, terlebih dahulu kita bahas secara dikotomis. Antara kitab suci kaum
muslimin dan kitab suci non muslim. Sebagai kaum muslimin, tentu pasti meyakini
bahwa kitab suci non muslim adalah
fiksi, sebab di dalamnya sudah terjadi revisi sesuai dengan kehendak nafsu
mereka.
Akan
tetapi, al-Qur’an sendiri secara tegas menolak dikatakan sebagai kitab yang
fiksi. Sebagaimana firman Allah Sw, “..al-Qur’an itu bukanlah cerita yang
dibuat-buat, tetapi membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya. Menjelaskan segala
sesuatu dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.”
(Qs.Yusuf:111).
`Pandangan
Ahlussunnah Wal Jama’ah. Al-Qur’an lebih tepatnya disebut sebagai Kalamullah
(Perkataan Allah). Ketika dikatakan sebagai Kalamullah maka tidak
mungkin terlepas dari-Nya. Berbeda dengan jika dikatakan sebagai kitab fiksi.
Karena fiksi adalah wilayah akal manusia. Hal serupa pernah dikatakan oleh
Faham Muktazilah yang mengatakan al-Qur’an adalah “Makhluk.”
Lantas
apa perbedaan antara Kalamullah dan Makhluk? Kalamullah tidak
mungkin terlepas dari zhat-Nya, sedangkan makhluk (ciptaan) terlepas
dari-Nya. Ibarat seseorang berbicara dan berbuat sesuatu. Maka, pembicaraan
tersebut merupakan bagian dari esensi pribadi (Hasil pikiran) yang tidak pernah
lepas. Sedangkan apa yang manusia perbuat menghasilkan suatu benda (Gedung dan
lain-lain) maka, hal itu terpisah darinya.
Terkenanglah
kisah tentang kesungguhan seorang ulama yang bernama Imam Ahmad bin Hambal yang
berpegang teguh dengan pendiriannya bahwa al-Qur’an adalah Kalamullah
dan bukan makhluk. Pada pemerintahan sebelum al-Makmun, yakni di zaman Khalifah
Harun al-Rasyid ada seorang ulama yang bernama Basyar al-Marsyi yang
berpendapat bahwa al-Qur’an adalah makhluk.
Harun
al-Rasyid tidak menerima pendapat ini. Bahkan terhadap orang yang mengatakannya
diberi hukuman berat. Ketegasan khalifah ini menyebabkan Basyar melarikan diri
ke Baghdad. Harun al-Rasyid pernah berkata, “Kalau umurku panjang dan dapat
berjumpa dengan Basyar, maka akan ku bunuh dia dengan cara yang belum pernah
aku lakukan terhadap yang lain. Akhirnya selama 20 tahun Basyar tetap dalam
pelariannya.
Setelah
Harun al-Rasyid meninggal dunia dan digantikan oleh putera beliau Al-Amien
barulah Basyar berani menampakkan diri. Diapun kembali melontarkan pendapatnya
bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Namun, Khalifah al-Amien sependapat dengan
mendiang ayahnya, yakni menentang pendapat tersebut dan mengancam siapapun yang
mengatakannya dengan hukuman yang berat.
Baru
kemudian setelah pemerintahan jatuh ke tangan saudara al-Amin, yakni al-Makmun
faham tentang kemakhlukan al-Qur’an diterima. Al-Makmun bukan hanya
terpengaruh, tetapi juga memerintahkan semua rakyatnya agar mengikuti faham
tersebut. Dan barang siapa yang berpendapat lain akan dihukum dengan
seberat-beratnya. Banyak sekali ulama yang mengikuti pendapat ini karena takut
disiksa.
Maka
Imam Ahmad bin Hambal adalah ulama yang satu-satunya yang bersikeras menentang
pendapat tersebut dan siap menghadapi apapu risikonya. Secara terus terang,
beliau mengatakan di hadapan Khalifah al-Makmun bahwa al-Qur’an bukan makhluk
(Yang dijadikan Allah) melainkan Kalamullah. Beliau pun ditangkap dan
dimasukkan ke dalam penjara.
Dihadapkanlah
Imam Ahmad untuk ditanya pendiriannya. Namun, beliau tetap dengan pendiriannya
bahwa al-Qur’an bukanlah makhluk, melainkan Kalamullah. Dan beliau pun
menegaskan tidak akan mencabut pendiriannya, walau apapun yang terjadi.
Mendengar pernyataan Imam Ahmad, Khalifah langsung memerintahkan kepada
prajurit untuk mencambuk beliau.
Ketika
cambukan pertama mengenai punggung beliau, beliau berucap, “Bismillah”. Ketika
cambukan kedua beliau berucap, “La haula wala quwata illa billah”. Ketika
cambukan yang ketiga beliau berucap, “Al-Qur’an Kalamullah, bukan makhluk!” dan
ketika cambukan keempat beliau membaca ayat, “Katakanlah bahwa sekali-kali
tidak akan menimpa kami melainkan apa yang sudah ditetapkan Allah kepada kami.”
Penyiksaan
dan faham kemakhlukan al-Qur’an masih saja terjadi meskipun telah berganti
pemerintahan. Ketika Khalifah al-Makmun meninggal dunia pada tahun 218 (833)
digantikan oleh saudaranya bernama Ishaq bin Muhammad bin Harun al-Rasyid yang
bergelar al-Mu’tashim billah. Faham kemakhlukan ini masih dijalankan. Bahkan
Imam Ahmad bin Hambal mendapatkan penyiksaan tatkala masih berpuasa di bulan
Ramadhan.
Setelah
al-Mu’tasim, digantikan lagi oleh puteranya al-Watsiq yang juga masih mempertahankan
faham kemakhlukan al-Qur’an. Akan tetapi, setelah al-Watsiq meninggal dan
digantikan oleh saudaranya bernama al-Mutawakkil faham Mu’tazilah tersebut
dicabut dan semua ulama dibebaskan termasuk Imam Ahmad bin Hambal.
Demikian
kisah perjuangan para ulama mempertahankan keotentikan al-Qur’an. Karena mereka
memahami bahwa al-Qur’an bukanlah kitab suci fiksi, melainkan adalah Kalamullah
yang tidak terlepas dari zhat-Nya. Hal serupa pernah terjadi pada tokoh-tokoh
ulama Ahlussunnah wal Jama’ah. Imam al-Bukhari keluar dari daerahnya melarikan
diri sambil berdoa, “Ya Allah, genggamlah aku pada-Mu dalam keadaan selamat
dari fitnah.”
Sumber: Kitab Jauharu at-Tauhid, Syeikh Ibrahim al-Laqqani
No comments:
Post a Comment