Thursday, November 10, 2016

TAKBIR KELILING SEBAGAI SYIAR ISLAM


“Demikian (Perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan Syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati
(Qs. Al-Hajj : 32)

catatan Idul Adha.

            Syiar Allah dalam ayat tersebut adalah segala amalan yang dilakukan dalam rangka ibadah haji dan tempat-tempat mengerjakannya. Para santri yang mengikuti Takbir Keliling di sekitar kampung cibadak merupakan sebuah implementasi dari syiar Allah yang berbeda dari ibadah haji. Karena syiar islam bentuknya bermacam-macam. syiar sendiri dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) mempunyai arti kemuliaan dan kebesaran.

            Kemuliaan dan kebesaran Allah SWT harus selalu diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Baik dalam ranah individual, kelompok organisasi, serta masyarakat sosial yang bersifat universal sehingga dapat menyentuh seluruh elemen masyarakat. Hal ini diharapkan agar para santri sedikitnya merasakan aroma dakwah islam secara terang-terangan.

            Islam zaman sekarang sudah sangat jauh berbeda dengan Islam pada masa perkembangan awal dakwahnya. Kaum muslimin mendapatkan tantangan yang sangat berat dari kaum kafir Quraiys berupa penyiksaan, pemboikotan, hingga menjadikan Rasulullah beserta para pengikutnya Hijrah ke Madinah. Di Madinah Rasulullah dan para sahabat mendapatkan pengikut yang lebih besar, hingga menjadi pusat peradaban Islam pertama pada saat itu.

            Hingga saat ini umat islam sudah merdeka, seharusnya tidak ada lagi yang ditakuti. Keadaan seperti ini hendaknya tidak membuat kita lalai dalam mengabdi kepada Allah SWT. Hanya saja, yang perlu diwaspadai adalah perang pemikiran yang melemahkan semangat keislaman orang islam sendiri. Sehingga Islamophobia (takut terhadap Islam) bisa jadi  dari internal muslim. Al Islaamu Mahjuubun Bil Muslim.

            Tidak heran jika kita melihat sesuatu yang paradoks. Seperti, malu pergi ke Masjid karena dianggap tidak modern. Malu mendengarkan Alquran dari smartphone yang ia genggam, lantaran lebih menyukai mendengarkan musik dengan alasan kekinian. Berpenampilan modis ala artis agar bisa dikenal gaul. Dan berbagai macam alasan lain yang sesungguhnya itu adalah sebuah wujud ketidak mampuan kita merasakan internalisasi sebagai seorang hamba yang beribadah.

            Takbir keliling merupakan sebuah proses internalisasi diri dalam menghidupkan cahaya Allah di tengah masyarakat yang redup. Antusiasme masyarakat melihat fenomena tersebut merupakan sebuah fitrah kemanusiaan yang timbul secara otomatis. Bahwa sesungguhnya masyarakat kita merindukan kedamaian islam yang hakiki.

mereka hendak memadamkan cahaya (Agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka. Tetapi Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir membencinya”. (Qs. As-Saff : 08).


KH SAMSON RAHMAN "BERPIKIR GLOBAL"

Wawancara 1 Muharram Bersama KH Samson Rahman MA

                   Bagaimana Aktualisasi hijrah dalam kehidupan sehari-hari?

          pertama adalah setiap orang harus diambil fundamentalnya dulu terhadap maka hijrah secara definitf. Sehingga kemudian kita bisa melangkah dengan sesuatu yang fundamen tersebut. Artinya bahwa, tatkala seseorang mengerti benar hijrah itu dari sisi hakiki maka dia akan bisa merefleksikan dalam kehidupan sehari-hari.

            Misalnya begini, Rasulullah SAW Tatkala tertolak secara sosial di Mekkah maka beliau mencari lahan baru untuk hidup dan matinya dakwah di masyarakat. Artinya, tatkala kita hidup di sebuah tempat yang kira-kira potensi kita bisa terbunuh dan terkubur. Maka kita sebagai mahluk sosial harus mengambil alternatif baru (sosial base) agar kita bisa berkembang di tempat itu.

            Jadi jangan sampai kita menjadi mahluk stagnan yang tidak bergerak. Karena dalam gerakan itu mengandung Barokah, Al-Harakatul Barakah, wal -Barakah min sababi Al- Harakah. Ketika kita mentok dalam posisi sosial tertentu maka dengan cepat kita harus mengambil alternatif baru agar tidak ada kementokan perjalan historis dan sosial kita. Untuk itu kita membutuhkan link, koneks, relasi dan pemahaman kita tentang medan situasi sosial tertentu yang sangat dipentingkan untuk kita aplikasikan.



          Mungkinkah Momentum Hijrah ini bisa kita kaitkan dengan  kebangkitan Islam?

            Minimal adalah semangatnya, bahwa kita seharusnya menjadi pewaris sah dari munculnya khilafaur-rasyidah. Pada puncak fase perjalanan sejarah yang diramalkan oleh Rasulullah SAW. Walaupun kita ternyata tidak menikmati itu, minimal kita pernah menanam bibit-bibitnya. Jadi jangan sampai kita memetik sesuatu yang belum waktunya, hanya kita telah berhasil untuk bibit-bibit itu.

            Semangat untuk melahirkan Khilafah ‘Ala Minhaj An-Nubuwwah itu perlu kita terus dengungkan, menanam bibit-bibitnya, sehingga kemudian yang terjadi adalah anak-anak kita telah siap menghadapi kenyataan yang mungkin muncul pada saat mereka ada. Jangan sampai kita meragukan kehadirannya.

Kita tidak tahu kapan akan terjadi, Walaupun ramalan dari berbagai ahli telah menyebutkan akan kehadirannya. Yang terpenting adalah semangat kita sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits, “andai kata ada seorang muslim yang di tangannya ada satu bibit tanaman dan ia tahu bahwa hari itu akan terjadi kiamat. Maka wajib bagi dia, selagi dia bisa untuk menanamnya”. (AL-Hadits). Artinya kita harus berpikir visioner bahwa apa yang kita tanam tidak harus kita petik sendiri hasilnya.
         

Bagaimana menyikapi fenomena sekarang yang mengatakan lebih baik memilih pemimpin kafir yang adil daripada memilih pemimpin muslim yang tidak adil?

          Saya kita itu adalah terminologi yang salah. Bahkan ada seorang pimpinan ormas yang mengatajan seperti itu. Pertama, pemimpin yang kafir kata dia itu lebih baik daripada pemimpin muslim tapi tidak adil. kenapa kalau dibalik termanya dengan mengatakan “pemimpin muslim yang adil lebih baik dari pemimpin kafir yang adil”.

            Bukankah di umat ini masih banyak yang memiliki  rasa keadilan itu? Ini sebenarnya adalah penggiringan opini yang menyesatkan. Kenapa kita tidak membuat terma-terma yang menyejukkan daripada dengan terma yang kontroversial. Kalau bisa curiga, jangan-jangan mereka sudah disunting dengan dana-dana tertentu.

            Kita harus waspada menghadapi politik kotor yang ada di tengah-tengah kita. Sebagaimana ada seorang kristen yang masuk ke tengah-tengah pesantren. Kemudian disambut oleh para santri dengan rebbana dan sebaginya hingga santri cium tangan. Saya kira ini adalah kejahatan yang sengaja dilakukan agar ada penumpulan kepekaan politik dalam islam. padahal imam politik adalah tidak lebih rendah daripada imam shalat.

 Lantas sosok pemimpin islam bagaimanakan yang ideal?

          Pertama dia harus memiliki karakter sebagai seorang muslim yang taat kepada Allah SWT. kedua, dia harus memiliki rasa keadilan itu. Ketiga, memiliki visi yang benar untuk membangun umat dan bangsa ini. keempat, dia bisa bukan hanya mengayomi umat islam tetapi ia juga bisa mengayomi umat lain. karena memang Islam ini hadir bukan hanya untuk kaum muslimin, tapi ia hadir untuk semua bangsa-bangsa.

            Dia juga harus memiliki integritas yang luar biasa, memiliki visi besar bahwa dia hidup di sebuah masyarakat heterogen, plural dan bukan homogen. Karena itu dia harus menjadi rahmat bagi semesta itu. hingga dia bisa menjadikan bangsa ini sebagai bangsa yang baik dan sejahtera. Sebagai bangsa yang disebut sebagai Baldatun Thayyibah WA Rabbun Ghafur.

          Mengapa media saat ini memberikan berita negatif terhadap islam? apa langkah kita untuk menghapus stigma negatif tersebut?

            Pertama, karena memang ada kelompok islam yang mengeruhkan suasana. Kedua, karena memang ada media-media yang menjadi corong bagi orang-orang yang ingin mendiskriditkan  umat islam. ketiga, mereka banyak jualan. Jualan pada bangsa asing, yang kadangkala mereka dianggap bagus tatkala menyuarakan kenegatifan umat islam.

            Padahal ia adalah sebagian kecil dari umat islam tersebut. hanya orang-orang tertentu yang menyuarakan Islam radikal atau mereka sebut dengan islam garis keras, militan islam dan seterusnya. Hal ini berdampak pada mengeruhkan suasana islam damai tersebut. artinya, media berkepentingan untuk mengekspos islam yang buruk. Sedangkan berita-berita yang ramah dan positif disembunyikan.
           
          Di Pesantren Modern erat kaitannya dengan prinsip berpikir bebas. Tidakkah prinsip ini berbahaya, karena ini menjadi celah bagi alumni pesantren yang menganggap dirinya liberal dengan beralasan seperti itu?

            Berpikir bebas di sini adalah dia bisa menangkap kebenaran dari berbagai sisinya. Berpikir bebas dengan keterbatasan tertentu. Makanya Gontor sangat membatasi liberalisasi  sehingga ada PKU atau pengkaderan Ulama. Karena Gontor pernah kebobolan dengan liberalisasi pemikiran.

            Pemikiran liberal sebenarnya sangat mengganggu pondok, mengganggu keharmonisan. Karena mereka kadang-kala mengebiri kebenaran teks yang ada dalam Alquran, kebenaran teks yang ada dalam Hadits. Saya lihat anak-anak Pesantren sekarang mendukung LGBT. Karena mungkin mereka salah memaknai apa yang disebut sebagai berpikir bebas.

            Berpikir bebas adalah kita bisa menangkap berbagai hal positif yang bisa kita tangkap. Berpikir bebas dengan makna liberalisasi itu tidak pernah diajarkan di Pesantren. Kita disebut sebagai freethinkers bukan leberalitinkers.orang berpikir bebas itu bukan menyedot semua yang jahat dan yang bagus menjadi satu.


          

INTERNALISASI HIJRAH DALAM MEMBENTUK MASYARAKAT MADANI


Oleh: Ma’zumi,

            Ketika Nabi SAW melihat semakin gemparnya penyiksaan terhadap kaum muslimin, sementara beliau sendiri tidak dapat memberikan perlindungan kepada kaum muslimin. Beliau berkata kepada mereka, “Alangkah baiknya jika kamu dapat berhijrah ke Negeri Habasyah karena di sana terdapat seorang raja yang adil sekali. Di bawah kekuasaannya, tidak seorang pun boleh dianiaya. Karena itu, pergilah kamu kesana sampai Allah memberikan jalan keluar kepada kita, karena negeri itu adalah negeri yang cocok bagi kamu”.
            Setelah beberapa waktu tinggal di Habasyah, sampailah kepada mereka berita tentang masuk islamnya penduduk Makkah. Mendengar berita ini, mereka segera kembali ke Makkah. Hingga ketika sudah hampir masuk ke kota Makkah, mereka baru mengetahui bahwa berita tersebut tidak benar. Karena itu, tidak seorang pun dari mereka yang masuk Makkah kecuali dengan perlindungan dari salah satu tokoh Quraisy.
            Sementara itu, Hijrah Rasulullah SAW ke Tha’if tidak mendapatkan sambutan yang baik. Beliau berbicara tentang Islam dan mengajak mereka supaya beriman kepada Allah SWT. Ajakan beliau ditolak mentah-mentah dan dijawab secara kasar. Mereka mengerahkan kaum penjahat dan para budak untuk mencerca dan melemparinya dengan batu, sehingga mengakibatkan cedera pada kedua kaki Rasulullah SAW.
            Sebenarnya masih banyak tempat yang dituju oleh Rasulullah SAW dalam berhijrah, akan tetapi secara umum sejarah menuliskannya secara jelas dari ketiga kota tersebut. Dari ketiga tempat tersebut, yaitu Hijrah ke Habasyah, Thaif dan Madinah. Masing-masing dari tempat hijrah tersebut memiliki karakteristik tersendiri sebagai sebuah proses internalisasi terhadap Diynul Islam.

            Yatsrib yang dituju oleh Nabi SAW kemudian menjadi Madinah. Merupakan sebuah momentum besar dalam perjalanan dakwah Islam dari misinya sebagai Rahmatan Lil ‘Alamiyn. Pada saat itu sebagai kota yang tertinggal, baik secara tingkat individual maupun sosial masyarakatnya. Disulap menjadi kota berperadaban, bahkan menjadi peradaban islam pertama.

            Madinah menjadi tatanan masyarakat baru yang moderat pada zamannya. Dengan Islam sebagai landasan utama dalam membangun negara Tauhid yang berdaulat kepada Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT. Dan beliau SAW sebagai pimpinan pendiri yang pertama. Oleh karena itu, Rasulullah SAW menentukan asas-asas sebuah negara.

            Asas-asas itu adalah membangun masjid. Mempersaudarakan sesama muslim secara umum dan antara kaum muhajirin, serta kaum anshar secara khusus. Ketiga, membuat perjanjian (dustur) yang mengatur kehidupan sesama kaum muslimin dan menjelaskan hubungan mereka dengan orang-orang di luar Islam secara umum dan dengan kaum Yahudi secara khusus.

            Ketiga asas tersebut tentu sangat urgen dalam membangun kehidupan individual dan sosial masyarakat. Masjid yang pertama dibangun sangat berperan penting dalam meningkatkan sumber daya manusia yang produktif. Dari masjid itulah Rasulullah SAW membimbing para sahabat dan umat  islam tentang asas-asas ibadah Mahdah dan Ghayru Mahdah. Hal ini yang akan melahirkan kesalehan individual dan kesalehan sosial.

            Ini juga sekaligus mengajarkan kepada kita tentang perbedaan cara nabi dalam membimbing umat dengan pemimpin sekarang. Hari ini kita melihat pemimpin yang katanya hendak meningkatkan sumber daya manusia, akan tetapi mayoritas memulainya dari  pembangunan lahan bisnis dan infrastruktur. Tidak heran jika kita melihat geliat masyarakat yang bersifat hedonis.

            Kedua, mempersaudarakan sesama muslim. Merupakan langkah urgen yang dipilih oleh Rasulullah SAW dalam menyatukan kaum muslimin yang berbeda pemikiran dengan latar belakang budaya masing-masing. Khususnya pada kaum Muhajirin dan Kaum Anshar.

            Penyatuan kaum muhajirin dan anshar menjadi sebuah kekuatan besar dalam membangun sebuah negara Islam. Kaum Muhajirin yang berlatar belakang sebagai niagawan dan kaum Anshar yang mayoritas petani, menjadikan keduanya bekerja sama dalam bidang perekonomian madinah. Sehingga Madinah menjadi sebuah kota yang maju. Baik secara kesalehan masyarakat maupun Sumber Daya Manusia yang produktif dalam bidang ekonomi.

            Ketiga, perjanjian yang mengatur  baik sesama kaum muslimin dan orang-orang kafir Madinah, khususnya dengan kaum Yahudi. Merupakan sebuah implementasi dalam membentuk tatanan masyarakat baru yang saling menghormati antar ras, suku dan agama yang berbeda. Khususnya dalam hal toleransi beragama.
            Setidaknya solusi inilah yang dibutuhkan oleh bangsa dalam membangun sebuah peradaban. Masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai ras, suku dan agama yang berbeda disatukan oleh semboyan Bhinneka Tunggal Ika dan pancasila sebagai ideologi bangsa. sebenarnya ini adalah inspirasi dari Nabi SAW yang mendirikan kota Madinah dengan tiga asas tersebut,  disertai dengan piagam madinah yang menjadi ideologi bersama.

            Namun untuk saat ini, nilai-nilai tersebut tidak terealisasikan dengan baik. Mengingat masyarakat terlalu mudah diadu domba dari satu golongan ke golongan lain. Perlu adanya gerakan sosial untuk saling menyatukan, bukan sekedar memperkeruhkan suasana. Hikmah Hijrah yang diajarkan oleh Nabi SAW menjadi solusi terbaik sepanjang masa kehidupan manusia.

            Di dalamnya sudah memuat bagaimana perjuangan dakwah secara tersembunyi dan terang-terangan. Dari penyiksaan, hijrah, hingga berujung pada pembangunan sebuah peradaban emas. Hal ini menjadi pelajaran buat kita, bahwa dalam sejarahnya Islam telah mampu memanusiakan manusia. Memerdekakan manusia dari penjajahan fisik dan pemikiran.


            Internalisasi dari makna hijrah tersebut adalah ketika kita mampu mengimplementasikan nilai-nilai perjuangan Nabi SAW dalam kehidupan sehari-hari. berawal dari gerakan spiritual menuju gerakan penanaman jiwa kebangsaan dan keberagamaan tanpa adanya dikotomi. Inilah sebuah nilai yang menyatukan dan membangun kemanusiaan yang sejati di bawah landasan Nusa, Bangsa dan Agama.


sumber: Shirah Nabaiwyah, Said Ramadhan Al-Bhuty

Bangkitkan Budaya Membaca dan Menulis!


Oleh: Ma'zumi
terbit di koran republika pada kolom pembaca menulis

            Sejarah begitu menginspirasi bagi kehidupan kita. Ia selalu hadir memberikan solusi di balik keruhnya permasalahan hidup. Baik dari ranah sosial, intelektual, budaya, agama serta kebangkitan peradaban suatu bangsa. Teringat dalam benak kita, sejarah perjuangan dakwah Islam yang selalu terhalang oleh kafir Quraisy dan tipu daya yahudi.

            Bukan perang yang dikehendaki Allah kepada umat mukmin pada saat itu, akan tetapi Allah menghadirkan solusi itu dengan menurunkan 5 ayat pertama dalam Surat Al-‘Alaq yang berisi tentang perintah membaca. Sekilas jika kita perhatikan memang tidak ada kaitan antara masalah dan solusi tersebut. Akan tetapi kebenaran wahyu menjadi selalu bersifat solutif.

            Asbabun Nuzul dari ke-lima ayat tersebut adalah ketika Rasulullah Saw bermunajat di Gua Hira’. Lalu datanglah Malaikat Jibril menyampaikan wahyu, “Bacalah....! Bacalah....! Bacalah...!” akan tetapi jawaban yang selalu keluar dari beliau adalah “Ma Ana Biqari”, saya tidak bisa membaca. Ada redaksi yang menarik dari Asbabun Nuzul tersebut, dimana Rasulullah SAW disuruh membaca, akan tetapi belum jelas objek mana yang harus dibaca.

            Sehingga lahirlah analisa yang mengatakan bahwa objek dari membaca adalah luas, dalam artian bukan hanya sekedar membaca sesuatu di atas teks. Lebih luasnya lagi membaca kehidupan sekitar, alam semesta, membaca situasi, membaca pikiran, dan membaca segala hal permasalahan dalam umat.

            Faktanya berdasarkan hasil penelitian Organisasi Pendidikan Sosial dan Kebudayaan Dunia (UNESCO/ the United Nations Of Education Social and Culture Organizations), masyarakat Indonesia yang hobi atau suka membaca berjumlah 0,001, atau satu berbanding seribu. Artinya, setiap  seribu penduduk hanya satu jiwa yang suka membaca.

            Sangat ironis memang, akan tetapi demikianlah relitanya. Ketika mengikuti seminar Habiburrahman El-Shirazy L.c di salah satu Pondok Pesantren Banten, penulis teringat akan kata-kata beliau yang menceritakan bahwa di saat berada di Amerika ia terkejut dengan perpustakaan yang selalu buka 24 jam. Karena penasaran dengan hal itu, maka beliau bergegas ke perpustakaan tersebut pada jam 2 malam waktu setempat.

            Ternyata itu bukan hanya sekedar wacana atau slogan, para pelajar di Amerika rajin membaca buku meskipun pada malam hari. “ternyata Amerika sangat berbeda dari apa yang kita lihat dari layar kaca, karena yang ditampilkan di layar kaca hanyalah sisi negatif dari Amerika”. Sangat menarik melihat fenomena seperti itu, terlebih itu terjadi pada negeri kafir yang tidak memiliki panduan wahyu.

            Sedangkan kita umat Islam yang benar-benar diperintahkan untuk membaca, realitanya bisa kita lihat saat ini, sangat memprihatinkan. Perlu adanya gerakan literasi yang membangkitkan kesadaran membaca sebagai sebuah kemajuan dari menuju cita-cita kemerdekaan Indonesia, “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”.
            Membangun kesadaran membaca bukan sekedar dengan slogan atau spanduk yang di pajang di sepanjang jalan raya atau di lembaga-lembaga pendidikan. Kesadaran yang dihadirkan adalah dengan membuat kelompok membaca, kajian literasi atau kajian-kajian lain yang mendukung gerakan membaca nasional.
            Membaca menjadi sebuah kewajiban dan juga sebagai kebutuhan akan hausnya ilmu pengetahuan. Bukan hanya tingkat akademisi, kesadaran seperti ini harus menyentuh seluruh elemen masyarakat. Musibah besar adalah ketika kalangan akademisi (siswa, Mahasiswa, Dosen atau guru) sangat asing terhadap budaya membaca.
            Membaca sekedar membaca, perlu kajian khusus untuk menggali hobi baca sehinngga benar-benar menjadi budaya di negeri ini. Akan tetapi membaca bukan menjadi sebuah titik final untuk membangkitkan peradaban umat dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Perlu adanya kontinuitas dari proses tersebut yaitu dengan menulis.

            Sudah menjadi ciri khas dari sebuah peradaban, terlebih Islam yang pernah mengajarkannya pada masa-masa kejayaan. Dimulai dari pembukuan Alquran atau kodifikasi hadits yang hal ini berkelanjutan menjadi budaya membaca dan menulis. Membaca sebagai sebuah proses menyerap ilmu dari objek ilmu yang luas, sedangkan menulis sebagai proses mentransfer  ilmu sehingga lahirlah ilmu-ilmu baru.

            Tradisi ini melahirkan Ulama-ulama yang berkompeten dalam bidang ilmu agama, intelektual, sains, serta berbagai disiplin ilmu lainnya. Seperti Imam Al-Ghazali, Imam Ibnul Jauzi, Imam As-Syafi’i, Imam An-Nawawi, Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, Imam Ibnu Hajar Al-Atsqalani dan lain-lainnya.

            Semua karya-karya tersebut dapat kita nikmati hingga kini, mencerahkan serta sebagai solusi hidup dalam menjawab permasalahan dengan konteks kekinian. Sebab manfaatnya adalah tentu dari budaya menulis sebagai gerakan yang membangun kebangkitan sebuah peradaban.

            Hari ini kita dihadapkan pada permasalahan yang amat sangat serius. Masyarakat yang buta huruf baik secara maknawi dan hakiki. Secara maknawinya adalah mereka yang memang benar-benar buta huruf, dan solusi kita saat ini adalah mengajarkannya. Secara hakiki adalah kalangan akademisi yang tidak mempunyai kesadaran atau loyalitas terhadap kedua kegiatan ini.

            A Fuadi seorang penulis Novel Negeri 5 Menara mengatakan ketika diwawancarai oleh tim redaksi Majalah Sabrina (Majalah Pondok Modern Manahijussadat) Rabu, 10 oktober 2016, “saya harap, orang muslim atau santri itu tidak hanya fokus pada Iqra’ tapi juga harus Uktub, kadang-kadang itu tidak balance (tidak imbang). Iqra’ memang bagus, tapi  Kadang-kadang kita lupa Uktubnya”.


            Wacana bukan sekedar retorika di atas panggung atau himbauan di atas kertas. Hendaklah kita memulai dari kegiatan-kegiatan yang bersifat formal, lembaga-lembaga pendidikan sekolah atau kampus menjadi modal besar dari semua itu. Jangan biarkan lembaga pendidikan kita miskin literatur sehingga meninggalkan dari budaya membaca dan menulis.

Tugas Mapel Al-Qur'an dan Hadits Kelas XI A dan B MA Misbahunnur

Clue: *Untuk Dapat Menjawab Pertanyaan Materi Al-Qur'an dan Hadits maka ada syarat dan ketentuan yang harus dikerjakan. *Syaratanya a...