Oleh: Ma'zumi
terbit di koran republika pada kolom pembaca menulis
Sejarah begitu menginspirasi bagi
kehidupan kita. Ia selalu hadir memberikan solusi di balik keruhnya
permasalahan hidup. Baik dari ranah sosial, intelektual, budaya, agama serta
kebangkitan peradaban suatu bangsa. Teringat dalam benak kita, sejarah
perjuangan dakwah Islam yang selalu terhalang oleh kafir Quraisy dan tipu daya
yahudi.
Bukan perang yang dikehendaki Allah
kepada umat mukmin pada saat itu, akan tetapi Allah menghadirkan solusi itu
dengan menurunkan 5 ayat pertama dalam Surat Al-‘Alaq yang berisi tentang
perintah membaca. Sekilas jika kita perhatikan memang tidak ada kaitan antara
masalah dan solusi tersebut. Akan tetapi kebenaran wahyu menjadi selalu
bersifat solutif.
Asbabun Nuzul dari ke-lima ayat
tersebut adalah ketika Rasulullah Saw bermunajat di Gua Hira’. Lalu datanglah
Malaikat Jibril menyampaikan wahyu, “Bacalah....! Bacalah....! Bacalah...!”
akan tetapi jawaban yang selalu keluar dari beliau adalah “Ma Ana Biqari”,
saya tidak bisa membaca. Ada redaksi yang menarik dari Asbabun Nuzul tersebut,
dimana Rasulullah SAW disuruh membaca, akan tetapi belum jelas objek mana yang
harus dibaca.
Sehingga lahirlah analisa yang
mengatakan bahwa objek dari membaca adalah luas, dalam artian bukan hanya
sekedar membaca sesuatu di atas teks. Lebih luasnya lagi membaca kehidupan
sekitar, alam semesta, membaca situasi, membaca pikiran, dan membaca segala hal
permasalahan dalam umat.
Faktanya berdasarkan hasil
penelitian Organisasi Pendidikan Sosial dan Kebudayaan Dunia (UNESCO/ the
United Nations Of Education Social and Culture Organizations), masyarakat
Indonesia yang hobi atau suka membaca berjumlah 0,001, atau satu berbanding
seribu. Artinya, setiap seribu penduduk
hanya satu jiwa yang suka membaca.
Sangat ironis memang, akan tetapi
demikianlah relitanya. Ketika mengikuti seminar Habiburrahman El-Shirazy L.c di
salah satu Pondok Pesantren Banten, penulis teringat akan kata-kata beliau yang
menceritakan bahwa di saat berada di Amerika ia terkejut dengan perpustakaan
yang selalu buka 24 jam. Karena penasaran dengan hal itu, maka beliau bergegas
ke perpustakaan tersebut pada jam 2 malam waktu setempat.
Ternyata itu bukan hanya sekedar
wacana atau slogan, para pelajar di Amerika rajin membaca buku meskipun pada
malam hari. “ternyata Amerika sangat berbeda dari apa yang kita lihat dari
layar kaca, karena yang ditampilkan di layar kaca hanyalah sisi negatif dari
Amerika”. Sangat menarik melihat fenomena seperti itu, terlebih itu terjadi
pada negeri kafir yang tidak memiliki panduan wahyu.
Sedangkan kita umat Islam yang
benar-benar diperintahkan untuk membaca, realitanya bisa kita lihat saat ini,
sangat memprihatinkan. Perlu adanya gerakan literasi yang membangkitkan
kesadaran membaca sebagai sebuah kemajuan dari menuju cita-cita kemerdekaan
Indonesia, “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”.
Membangun kesadaran membaca bukan
sekedar dengan slogan atau spanduk yang di pajang di sepanjang jalan raya atau di
lembaga-lembaga pendidikan. Kesadaran yang dihadirkan adalah dengan membuat
kelompok membaca, kajian literasi atau kajian-kajian lain yang mendukung
gerakan membaca nasional.
Membaca menjadi sebuah kewajiban dan
juga sebagai kebutuhan akan hausnya ilmu pengetahuan. Bukan hanya tingkat
akademisi, kesadaran seperti ini harus menyentuh seluruh elemen masyarakat.
Musibah besar adalah ketika kalangan akademisi (siswa, Mahasiswa, Dosen atau
guru) sangat asing terhadap budaya membaca.
Membaca sekedar membaca, perlu
kajian khusus untuk menggali hobi baca sehinngga benar-benar menjadi budaya di
negeri ini. Akan tetapi membaca bukan menjadi sebuah titik final untuk
membangkitkan peradaban umat dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Perlu adanya
kontinuitas dari proses tersebut yaitu dengan menulis.
Sudah menjadi ciri khas dari sebuah
peradaban, terlebih Islam yang pernah mengajarkannya pada masa-masa kejayaan.
Dimulai dari pembukuan Alquran atau kodifikasi hadits yang hal ini
berkelanjutan menjadi budaya membaca dan menulis. Membaca sebagai sebuah proses
menyerap ilmu dari objek ilmu yang luas, sedangkan menulis sebagai proses mentransfer
ilmu sehingga lahirlah ilmu-ilmu baru.
Tradisi ini melahirkan Ulama-ulama
yang berkompeten dalam bidang ilmu agama, intelektual, sains, serta berbagai
disiplin ilmu lainnya. Seperti Imam Al-Ghazali, Imam Ibnul Jauzi, Imam
As-Syafi’i, Imam An-Nawawi, Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, Imam Ibnu Hajar
Al-Atsqalani dan lain-lainnya.
Semua karya-karya tersebut dapat
kita nikmati hingga kini, mencerahkan serta sebagai solusi hidup dalam menjawab
permasalahan dengan konteks kekinian. Sebab manfaatnya adalah tentu dari budaya
menulis sebagai gerakan yang membangun kebangkitan sebuah peradaban.
Hari ini kita dihadapkan pada
permasalahan yang amat sangat serius. Masyarakat yang buta huruf baik secara
maknawi dan hakiki. Secara maknawinya adalah mereka yang memang benar-benar
buta huruf, dan solusi kita saat ini adalah mengajarkannya. Secara hakiki
adalah kalangan akademisi yang tidak mempunyai kesadaran atau loyalitas
terhadap kedua kegiatan ini.
A Fuadi seorang penulis Novel Negeri
5 Menara mengatakan ketika diwawancarai oleh tim redaksi Majalah Sabrina
(Majalah Pondok Modern Manahijussadat) Rabu, 10 oktober 2016, “saya harap,
orang muslim atau santri itu tidak hanya fokus pada Iqra’ tapi juga
harus Uktub, kadang-kadang itu tidak balance (tidak imbang). Iqra’ memang
bagus, tapi Kadang-kadang kita lupa Uktubnya”.
Wacana bukan sekedar retorika di
atas panggung atau himbauan di atas kertas. Hendaklah kita memulai dari
kegiatan-kegiatan yang bersifat formal, lembaga-lembaga pendidikan sekolah atau
kampus menjadi modal besar dari semua itu. Jangan biarkan lembaga pendidikan
kita miskin literatur sehingga meninggalkan dari budaya membaca dan menulis.