Oleh
: Ma’zumi
Menjadi keluarga Qur’ani adalah dambaan bagi setiap
muslim yang merindukan akan Indahnya kebersamaan bersama Al-Qur’an yang
merupakan mu’jizat yang bisa dirasakan kehadirannya sepanjang masa. Sepanjang diturunkannya
Al-Qur’an masih menjadi cahaya yang menerangi kehidupan manusia, petunjuk bagi
orang-orang yang bertaqwa. Dengan Al-Qur’an ini derajat suatu kaum diangkat
disisi Allah SWT. Dengannya pula derajat manusia direndahkan, bergantung
bagaimana cara menyikapinya sebagai Pedoman hidup yang hakiki.
Pertanyaannya adalah apakah semua keluarga muslim bisa
menjadi keluarga Qur’ani? Jika pertanyaan tersebut kita jawab dengan konteks
zaman kekinian, tentu masing-masing dari kita secara aklamasi akan menjawab
“tidak”, mengingat zaman ini adalah zaman yang sangat jauh dari bimbingan wahyu
sehingga pola hidup manusia lebih cenderung mengikuti hawa nafsu tanpa adanya Ghiyrah
yang tinggi untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup seutuhnya.
Ungkapan yang mengatakan bahwa “Al-Qur’an sebagai pedoman
hidup” pun masih menjadi jargon dan simbol umat agar terhindar dari perasaan
malu sebagai muslim yang mengaku memiliki kitab suci Al-Qur’an. Akan tetapi
ketika ungkapan tersebut dihadapkan pada Implementasinya maka mayoritasdari
kita mundur seribu langkah dengan alasan yang menyibukkan diri sendiri dengan
kegiatan duniawinya. Alih- alih mengikuti gaya modern, dengan pergaulan, style,
fashion and fun (musik dan lain-lain), akan tetapi Al-Qur’an diabaikan.
Sangat mudah umat muslim diperdaya hanya oleh hal-hal
kecil yang dapat melalikan dari mengingat Allah SWT. Handphone seakan menjadi
kitab suci yang selalu diingat dan dibawa, lagu-lagu kekinian sudah menjadi
pedoman hidup yang “maaf” seakan-akan menggantikan irama Al-Qur’an.
Masjid-masjid hanya dikunjungi setiap satu minggu sekali, ramainya adalah dua
kali dalam setahun. Umat ini seakan-akan mengenal Al-Qur’an hanya ketika ada
orang meninggal, dan satu bulan penuh di bulan Ramadhan. Selebihnya biarlah
Al-Qur’an berdebu dan suci, suci tak tersentuh.
Modernitas melahirkan dikotomi perspektif dalam kehidupan
beragama dan keberagamaan. Sehingga sangat sulit untuk memadukan implementasi
dari kehidupan duniawi dan ukhrawi, yang ada hanyalah kehidupan sekuler yang
lebih mengedepankan Hedonisme daripada berjihad dengan harta dan jiwa. Padahal
Rasulullah Saw sendiri sangat khawatir jika kekayaan dunia ini dihamparkan
untuk orang-orang muslim. Dan Rasul pun mengeluh akan keadaan umat ini yang
mengabaikan Al-Qur’an.
Berkatalah Rasul: "Ya Tuhanku, Sesungguhnya
kaumku menjadikan Al Quran itu sesuatu yang tidak diacuhkan". (Qs. Al-
Furqon : 30).
Lalu apakah bisa membangun keluarga Qur’ani di tengah arus
Modern? Berikut adalah langkah-langkah agar menjadi Keluarga Qur’ani menurut
Al-Qur’an dan Hadits :
Pertama adalah keluarga yang dijauhakn dari Api Neraka.
Kita sering mendengar dan mengkaji ayat di dalam Al-Qur’an Surat At-Tahrim ayat
6 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa
yang diperintahkan.”
Di dalam ayat tersebut terdapat kata
perintah agar menjaga diri dan keluarga dari Api neraka. Dalam kajiannya Ustadz
Budi Ashari L.c pakar sejarah Islam menerangkan bahwa perintah untuk menjaga
lebih tepatnya ditujukan kepada kepala keluarga
(suami) yang bertanggung jawab penuh dalam mengurus keluarganya.
Sedangkan kata “Quuw” (jagalah) pada ayat tersebut memiliki akar kata “Waqoo-
Yaqiiy- Wiqooyatan” yang berarti mencegah.
Artinya bahwa untuk menjalin keluarga yang diharapkan di
dalam Al-Qur’an adalah berawal dari suami yang memiliki ketaqwaan yang tinggi
kepada Allah SWT. Dengan demikian ia akan mampu “mencegah” segala kemungkinan
buruk (dosa) yang akan terjadi dalam keluarganya dalam rangka menjalankan konsep dalam kekeluargaan dalam
ayat tersebut. Oleh karena itu seseorang yang ingin membina keluarga Qur’ani
diharuskan menikah dengan seorang lelaki dengan kadar ketaqwaan yang tinggi
kepada Allah SWT.
Setelah keluarga terbentuk maka harus dihadirkan langkah
kedua yaitu menjalankan ketaatan kepada Allah SWT dengan menjalankan Shalat dan
mendidik keluarga dengan bersabar. Sebagaimana Firman Allah SWT :
“
Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan Bersabarlah kamu
dalam mengerjakannya. kami tidak meminta rezki kepadamu, kamilah yang memberi
rezki kepadamu. dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (Qs. Thaha : 132).
Menjalankan konsep taqwa adalah
sebagaimana yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para Nabi sebelumnya.
Yaitu menjalankan ketaatan kepada-Nya dalam bentuk Ibadah shalat Lima waktu
yang harus dijaga sebagai bentuk meng-Esakan Allah SWT dan tidak
menyekutukannya dalam hal apapun, seperti yang telah dicontohkan oleh Nabi
Ya’qub yang termaktub di dalam Al-Qur’an.
“ Adakah kamu
hadir ketika Ya'qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia Berkata kepada
anak-anaknya: "Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" mereka menjawab:
"Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan
Ishaq, (yaitu) Tuhan yang Maha Esa dan kami Hanya tunduk patuh
kepada-Nya". (Qs.
Al-Baqarah : 133).
Menjadi hal yang Aneh ketika orang
tua zaman sekarang berwasiat kepada anak-anaknya agar menikah dengan orang yang
kaya-raya agar kelak tidak hidup dengan kemiskinan, ataupun mendidik anaknya
agar bekerja, bekerja dan bekerja tanpa mengedepankan Ibadah sebagai loyalitas
hamba yang bertauhid kepada Allah SWT. Bukankah ini sebuah kesalahan?
Padahal dalam ayat diatas Allah SWT
secara tegas mengatakan, “Saya tidak meminta rezeki kepadamu, kamilah yang
memberi rezeki kepadamu” (Qs. Thaha : 132). Agar manusia tidak ada
ketakutan dengan kemiskinan disebabkan ketaatan kepada Allah SWT. Dalam sebuah
Hadits Qudsi pun ditegaskan, “Wahai Anak Adam, sesungguhnya Aku
menciptakanmu adalah untuk beribadah kepadaku maka janganlah bermain-main. Dan
Aku telah menjamin bagimu rezeki maka janganlah berlelah-lelah”
(Al-Hadits).
Ketiga, keluarga seharusnya mendidik
anak untuk berpenampilan sesuai dengan apa yang disyariatkan dalam Agama, bukan
berpenampilan dengan fashion Jahiliyah (Tabarrujal Jaahiliyyah). Apalah
arti sebuah penampilan dengan gaya modern jika penampilan tersebut sama halnya
dengan penampilann ala zaman Jahiliyyah atau bisa jadi zaman ini lebih dari
Jahiliyyah daripada Jahiliyyahnya yang disebutkan di dalam Al-Qur’an, karena
“memamerkan aurat” sudah menjadi gaya hidup.
“Dan hendaklah
kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti
orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan
Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya.
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul
bait dan membersihkan kamu
sebersih-bersihnya.” (Qs. Al-Ahzab :
33).
Penampilan yang baik dalam Islam
adalah penampilan yang mengutamakan menutup aurat dan tidak memberikan kesan
sombong dari apa yang dipakai. Penampilan tersebut cenderung menyesuaikan
dengan gender dan waktu pemakiannya, seorang laki-laki tidak diperkenankan
(haram) berpenampilan seperti wanita ataupun sebaliknya. Islam tidak melarang
untuk berpenampilan dengan pakaian yang bagus dan indah, lebih baik jika
keindahan penampilan tersebut pemakaiannya digunakan untuk mengagungkan Allah
SWT di dalam rumah-Nya.
“Hai anak Adam,
pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah,
dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berlebih-lebihan.” (Qs. Al-A’raf
:31).
Untuk menjadi keluarga Qur’ani, maka orang tua tidak boleh
memberikan busana atau fasilitas yang berlebihan terhadap anak. Hal ini yang
nantinya akan sangat berdampak negatif bagi anak, terutama menimbulkan kesan
sombong dan manja. Terlalu menuruti kemauan anak dalam hal materi adalah
kesalahan besar orang tua dalam mendidik anak, alih-alih beralasan kasih sayang
hal tersebut malah menjauhkan anak dari membaca dan menghafal Al-Qur’an.
Al-Qur’an sudah memberikan solusi untuk hal ini, yaitu memberikan
hak (materi) kepada anak pada saat anak menginjak usia Rusyda. “Dan
ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika
menurut pendapatmu mereka Telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka
serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.” (Qs. An-Nisa : 06).
Keempat, langkah selanjutnya adalah mendidika anak agar selalu muroqobah
terhadap Allah SWT. Disini peran orang tua dalam mendidik anak dengan
konsep Iman, Islam dan Ihsan sangat diharapkan agar anak tumbuh berkembang
menjadi jiwa Qur’ani. Selain mendidik anak dengan Ibadah-ibadah Shalat, akhlak,
berpakaian maka langkah selanjutnya adalah mendidik anak agar berperilaku dan
bergaul sesuai dengan perspektif Al-Qur’an.
Mendidik anak agar pandai menjaga pandangan dari lawan jenis yang
bukan mahram dan menjaga kehormatan dirinya adalah hal yang sangat urgen.
Mengingat dekadensi moral yang terjadi dalam kehidupan remaja sangat
memperihatinkan. Dalam pergaulan remaja sendiri sering meminjam istilah “dari
mata turun ke hati”, yang dengan kata-kata tersebut sebagai alasan
mengungkapkan perasaan cinta.
Akan tetapi lain ungkapan dan niatnya, maka ungkapan tersebut lebih
tepatnya diganti dengan ungkapan “dari mata turun ke aurat”. Karena
kenyataannya pergaulan lebih mengarah pada pemuasan nafsu yang bersifat
kenikmatan sesaat. Oleh karena itu Al-Qur’an telah mengajarkan agar menjaga
pandangan dari hal tersebut.
“Katakanlah
kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci
bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya,
kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain
kudung kedadanya.....,”
(Qs. AN-NUR : 30-31).
Al-Qur’an pula mengajarkan kepada kita agar selalu menjaga kehormatan.
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang
beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya, Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari
(perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, Dan orang-orang yang menunaikan
zakat, Dan orang-orang yang menjaga kemaluanny.” (Qs. Al-Mu’minun).
Kelima,
menjadikan rumah sebagai majelis Al-Qur’an. Di dalam surat Nur ayat 35 setelah
Allah SWT menerangkan tentang cahaya-Nya, maka kemudian pada ayat selanjutnya
(ayat 36) yang mendapatkan cahaya Allah yaitu di rumah-rumah yang di dalamnya
sebagai tempat untuk memuliakan Allah, mengagungkan dan selalu mengingat
nama-Nya di waktu pagi dan petang.
Tidak ada hal-hal yang indah di
dunia ini kecuali kebahagiaan yang dirasakan bersama keluarga, apalagi
kebahagiaan itu bisa terjalin dalam rangka menegakkan kalimatullah dan selalu
berharap akan ridho-Nya. Setidaknya sudah menjadi harapan keluarga yang
dijanjikan oleh Allah sebagai keluarga-Nya, yaitu rumah yang selalu dihiasi
dengan majelis dzikir, ilmu dan Al-Qur’an, niscaya tiada kesenjagan di
dalamnya.
“tidaklah suatu kaum berkumpul di
salah-satu rumah Allah SWT untuk membaca kitabullah dan mempelajarinya diantara
mereka. Melainkan akan turun kepada mereka ketentraman, rahmat Allah SWT
meliputi mereka, para Malaikat mengelilingi mereka, dan Allah menyanjung mereka
di tengah para Malaikat yang berada di sisi-Nya. Barang siapa yang lambat
amalnya, maka tidak dapat dikejar nasabnya”. (HR. Muslim, Hadits ke 36
Arba’in Nawawi).
Alangkah indahnya keluarga Qur’ani,
yaitu keluarga yang selalu dinaungi rahmat Allah SWT di dunia, hingga di ahirat pun mereka mendapatkan
surga dan masuk surga beserta keluarga. Janji Allah pasti benar, dan tidaklah
kebenaran yang pasti itu datang kecuali datangnya dari Allah SWT.
“ (yaitu) syurga
'Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh
dari bapak-bapaknya, isteri-isterinya dan anak cucunya, sedang
malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil
mengucapkan): "Salamun 'alaikum bima shabartum". Maka alangkah
baiknya tempat kesudahan itu.”
(Qs. Ar-Ra’du : 23-24).
Demikian adalah gambaran umum potret
keluarga Qur’ani yang bisa penulis sampaikan dalam artikel ini. Adapun Para
penghafal Al-Qur’an tidak saya cantumkan, karena banyak para penghafal
Al-Qur’an yang tidak sesuai dengan akhlak Qur’ani. Kita doakan saja agar mereka
mendapatkan petunjuk dari Allah SWT. Adapun contoh-contoh keluarga Qur’ani di
dalam Al-Qur’an sendiri adalah potret keluarga Nabi Muhammad SAW, keluarga
Imran, Maryam, Luqman, keluarga para Nabi dan lain-lain.