Saturday, August 20, 2016

MENULIS MY ADVENTURE




            Selasa (31/05) sekitar pukul 06 : 30 suasana langit Manahijussadat dipenuhi awan hitam pertanda akan turunnya hujan lebat. Di tengah suasana Ujian Lisan Ahir semester, terlihat beberapa santri berlalu lalang menjalankan aktivitas mengaji dan sebagian lain mempersiapkan ujian lisan sangat serius dengan beberapa buku di genggaman mereka dan Alqur’an yang selalu dibaca.

Beginilah suasana yang dirindukan oleh para Guru Manahijussadat dan pendidik pada umumnya. Karena ujian untuk belajar, bukan belajar untuk ujian. Bahwa ujian yang sesungguhnya adalah ketika seorang santri mampu mengamalkannya dalam ranah kehidupan sosial yang bersifat universal.

            Dan kehawatiran itu terjadi, ketika hujan lebat mengguyur bumi manahijussadat. Di bawah naungan Kubah (Atta’awun) penulis mempersiapkan segala hal perbekalan untuk mengikuti “Pelatihan menulis” di Pondok Pesantren Modern Darul Istiqomah, Bondowoso Sebagai perwakilan dari tim redaksi Majalah Sabrina. Hingga hujan sedikit reda memberanikanku berangkat menuju stasiun hingga tepat sampai disana jam 08 : 00.

            Banyak yang harus saya katakan kepada dunia, tentang isi hati yang selalu terpendam dan tiada seorangpun yang mau mendengarnya. Bisikan dan renungan yang selalu berkomunikasi dalam hati, seakan-akan dalam tubuh ini terdapat dua pribadi yang selalu berteman dan tidak dapat dipisahkan sebagai teman abadi. Mereka selalu berdiskusi dalam raga ini tentang ungkapan hati yang hendak mengatakan kepada dunia, namun hingga diskusi usai salah-satu dari mereka mengatakan bahwa cara terbaik untuk berkata kepada dunia adalah dengan menulis.

            Yaaaa..... menulis adalah cara terbaik dan terampuh untuk mengungkapkan seluruh isi hati kepada dunia yang dalam keramaiannya terkadang membisu. Dunia sejatinya membisu dan tidak dapat mendengar keramaian dari suara-suara kaum kerdil yang merintih dibawah naungan politik yang licik. Panggung mereka lebih luas daripada singgasana Istana Raja, karena mereka mampu berkamuflase ke berbagai tempat dengan alasan tugas Negara.

            Setidaknya itu adalah bagian kecil dari alasan seorang penulis menggoreskan tintanya untuk merubah dunia yang membisu, karena penulis meyakini dunia hanya akan mendengar suara-suara hati yang terungkap dalam tulisan, dan tulisan inilah yang akan abadi dan penulis tersebut  seakan-akan selalu hadir sepanjang masa karyanya tetap dibaca lintas zaman. Lihatlah karya-karya Imam Al-Bukhari, Imam Syafi’i, Imam Nawawi, Buya Hamka, mereka masih terdengar di telinga kita hari ini, memberikan solusi dan pandangan hidup melalui tulisan.

            Tepat pada hari Rabu, 01 juni 2016 sekitar pukul 13 : 00 penulis sampai di tempat pelatihan; Pondok Pesantren Modern Darul Istiqomah, Bondowoso. Penulis yang ditemani oleh Mahasiswa Sudan yang sedang berlibur, Faruq Abdul Hakim yang juga anak dari Pimpinan Darul Istiqomah, Serang. Perjalanan yang cukup melalahkan, memakan waktu sekitar 12 jam dengan transportasi kereta dan bus. Letak geografis pondok yang berada di kawasan pegunungan, suasana yang asri membuat semua penduduk Pesantren dan masyarakat terlihat begitu damai dan tentram.

            “Pelatihan menulis ini tidak lain adalah untuk melahirkan para penulis dari kalangan umat Islam, agar umat Islam mampu menguasai media dengan menulis”, ungkap KH. Masruri Abdul Muchit L.c, Pimpinan Pondok Pesantren Darul Istiqomah ketika mengawali pembukaaan acara pelatihan menulis pada pukul 20 : 00 – 21 : 00 WIB.

            Pelatihan menulis oleh M. Husnaini yang telah menerbitkan sekitar 7 buku karyanya dan menulis sekitar 500 artikel yang telah dimuat di media.  Ada banyak materi yang disampaikan oleh beliau dalam pelatihan menulis diantaranya adalah latihan menulis dari nol, membangun kebiasaan menulis rutin, menyerap bacaan mengemas tulisan, menyunting naskah dan menerbitkan buku.

            “Isy Kaatiban, aw mut Maktuwban!”, hiduplah sebagai penulis atau mati dalam keadaan ditulis. Semboyan yang digaungkan oleh M Husnaini di hadapan para peserta pelatihan menulis adalah santri dari berbagai daerah. Diantaranya, dari Banten, Sumbawa, Lumajang, Jember, Bondowoso dan lainnya.

            Mereka sangat antusias mengikuti pelatihan menulis yang diadakan di Pon Pes Darul Istiqomah, Bondowoso di bawah asuhan KH. Masruri Abd Muchit L.c. Pelatian menulis tersebut selama empat hari, dibuka mulai rabu 1 juni 2016 pukul 20 : 00 – 21 : 00 dilanjutkan esoknya selama dua hari, kamis dan jumat (2-3/06/2016) dari pukul 08.00 s/d 22.00 WIB.

            Dalam bimbingan M Husnaini sebagai penulis buku-buku hikmah itu, peserta dilatih untuk bisa menulis melalui tiga tahap. Pertama, menulis masalah yang sederhana atau mudah. Kedua, menuangkan seluruh isi hati dan pikiran. Ketiga, membaca ulang apa yang telah ditulis, lalu diedit.

            Menulis secara sederhana adalah menulis sesuatu yang sesuai dengan kemampuan seseorang tersebut. hal ini berkaitan dengan latar belakang dan profesi penulis. Misalnya, seseorang yang berprofesi sebagai pendidik, maka ia sangat mungkin bisa menulis tentang pendidikan. yang kedua, menuangkan seluruh isi hati dan pikiran. Tipe seperti ini adalah untuk penulis yang ingin menyampaikan apa yang menjadi pikiran dan isi hatinya hingga berbentuk karya tulis.

            Yang terahir, membaca ulang apa yang telah ditulis lalu diedit. Perlu diketahi, ketika seseorang ingin menulis suatu karya tulis, apapun itu. Maka hendaknya ia menuliskan semua apa yang terlintas dalam pikirannya tanpa ada keinginan untuk mengedit tulisan. Karena tugas penulis adalah “menulis” bukan “editor”. Adapun untuk mengedit adalah bisa dilakukan di  ahir setelah semua opini tertulis atau setelah 1 1/5 halaman. Kebanyakan penulis gagal adalah karena berusaha mengedit sebelum tulisan itu selesai.

            Setelah para peserta mampu menuangkan ide-ide pikirannya dalam bentuk tulisan, selanjutnya peserta dilatih untuk membangun komitmen agar istiqomah bisa menulis secara rutin. Sekaligus diajarkan tips menerbitkan tulisan di media, menyunting kumpulan tulisan agar menjadi buku lalu menerbitkannya.

            Di hari keempat, sabtu 04 Juni 2016. Peserta dibekali motivasi menulis oleh Moch Khoiri, penulis buku “Rahasia Top Menulis”. Pelatihan menulis ditutup secara resmi bersamaan dengan agenda khataman serta pelepasan alumni XIX (TMI) XVII (TMAL) Pon Pes Darul Istiqomah Bondowoso.

 Hasil pelatihan menulis peserta diberikan waktu 1 bulan untuk mengirimkan minimal dua artikel dan maksimal tiga artikel dengan tema pesantren. Karya Antologi ini menjadi semangat awal bagi para peserta agar ke depan bisa menelurkan karya tulis, khususnya menerbitkannya dalam bentuk buku. Pelatihan menulis ini akan terus berlanjut dengan membuat Grup Whats App yang diberi nama “Santri Menulis” sebagai latihan yang berkelanjutan demi mewujudkan semangat menulis sebuah karya.


SANTRI HARUS BERPIKIR GLOBAL


Prof. Dr. Ahmad Mubarok, MA
(Ketua Dewan Pembina Konsorsium Pesantren se Indonesia)

            Saat mengikuti acara “Pelatihan Menulis dari Nol Sampai Punya Karya” di Pondok Modern Darul Istiqamah, Pakuniran, Bondowoso. Acara ditutup dengan Haflah Santri Kelas Ahir Program KMI, diahiri dengan ceramah Prof. Dr. Ahmad Mubarok, MA. Ada beberapa poin penting mengenai ceramah tersebut yang ditulis oleh tim Redaksi Sabrina.

            Dengan semangat salaf menembus globalisasi. Saya merasa inilah sesungguhnya pendekatan yang paling tepat pada era global. Karena era global adalah, dimana “dunia mengecil menjadi satu kampung”.  Zaman saya kecil ketika ada peristiwa di kampung saya, di kampung sebelah beritanya sampai esok hari. peristiwa luar negeri, satu minggu kemudian baru terdengar.

            Sekarang, apa yang terjadi hari ini. di Amerika, Afrika dll langsung terdengar (beritanya) begitu juga sebaliknya. Dan melalui teknologi Informasi segala macam bisa diakses.  Bagi orang yang sudah maqamnya, era global membuat kemudahan, kecepatan, efisiensi, efektifitas dan sebagainya. Bagi orang yang belum maqamnya, era globalisasi menjadi porblem. Saya selalu memikirkan sebuah format, bagaimana orang yang tinggalnya di desa, tetap dengan kultur seperti ini tapi visinya global.

            Bagaimana pesantren yang tinggalnya di kampung tetapi mempunyai konsep diri. padahal biasanya, santri selama ini adalah orang yang paling tidak jelas cita-citanya. (Ketika ditanya) “mau jadi apa?” dijawab dengan “cita-cita ingin jadi orang shaleh, punya menantu orang kaya, akan tetapi tidak ada yang punya cita-cita menjadi DPR, penulis dan lain-lain”. oleh karena itu, saya sangat setuju, jika format ini disempurnakan menjadi model. Jadi islam di nusantara visinya adalah global.

            Sekarang ini timur tengah sudah luar biasa hancur lebur. Yang tersisa sekarang tinggal Indonesia. Satu-satunya cara agar tidak dihancurkan adalah kita harus mempersiapkan visi global. Saya dahulu tidak punya cita-cita setinggi langit, (menurut saya) langitnya rendah karena orang miskin dengan situasi yang tradisional. Tapi kebetulan saya adalah orang yang selalu penasaran. Ibaratnya ada gedung lantai 20, ketika di lantai pertama berpikir, “di lantai dua ada apa yah”? membayangkan keatas. Setelah lantai 2, berpikir demikian pula sehingga ahirnya sampai pada lantai atas. Bukan karena cita-cita setinggi langit, tapi karena selalu penasaran.

            Ceritanya waktu di pesantren tradisionil, tiba-tiba ada studi banding Mahasiswa  Universitas Gajah Mada. Datang ke Pesantren, kemudian perilakunya sangat berbeda dengan santri. Ketemu Kyai “Assalamu’alaikum Kyai, apak kabar” mereka terlihat sangat percaya diri. jaketnya sangat bagus. Maka kemudian terlintas dalam hati, “saya mau jadi Mahasiswa”.yang menarik adalah gagah jaketnya dan percaya diri.

            Tahun 65 saya sebagai santri, saya juga menjadi sekretaris Partai NU tingkat kecamatan. Lalu bergaul bersama orang PKI di forum-forum. Waktu itu kalau orang PKI ngomong tidak ada yang berani menjawab. Karena mereka selalu memakai Undang-undang dan pasal. Tapi saya karena sudah pernah sekolah, (setelah saya perhatikan) ternyata orang PKI itu ngawur, menyebutkan pasal-pasalnya ngawur, ketika itu pikiran saya muncul. Pada saat PKI menyebutkan Pasal 27 saya langsung Intruksi, “itu bukan pasal 27”. Pokonya setiap kali ia ngomong saya intruksi.

            Setelah itu orang PKI ngomong, “kalau Adek pengen menjadi orang maju, pergi ke jakarta...!” saya mengamalkan “Undzur Ma Qoola Wala Tanzur Man Qoola”. Ahirnya saya tinggalkan pesantren, guru dan kyai untuk tinggal di jakarta. Setelah di jakarta saya menjadi Marbot Masjid, masjidnya kebetulan dekat dengan kampus. Jadi yang berjamaah itu adalah mahasiswa dan dosen.

Saya tukang azan, tukang menyapu. Satu bulan bekerja, tiba-tiba Imam rawatib tidak datang ke masjid. Terus terjadi dorong-dorongan, antara mahasiswa dan dosen untuk menjadi Imam. Ahirnya salah satu diantara mereka menunjuk saya untuk menjadi Imam.

            Ketika menjadi Imam saya menengok ke belakang ada tiga baris (shaf).  Mahasiswa dan Dosen, sedangkan saya adalah Imam Kampung yang belum tamat SLTA. Disitulah kemudian terjadi proses pembentukan konsep diri. “ternyata orang kampung bisa menjadi Imam orang pinter”. Kemudian timbul pikiran-pikiran iseng yang membuat shalat tidak khusyu’. Sejak saat itulah terbentuk konsep diri, “saya hari ini menjadi Imam orang pinter, lain kali In Sya Allah saya akan menjadi Imam yang lain. suatu saat ingin menjadi Imam Politik.”

            Ada pengalaman yang menarik, dalam usia 23 tahun. Saya diruqyah dan mengikuti Tarekat. Dari ruqyah saya dianter oleh paman saya dan dibai’at tarekat sadiliyyah. saya bertemu dengan Ahli zikir kemudian diramal, diramal bahwa akan berpisah dengan istri dan akan mengelilingii separuh dari dunia. waktu itu saya tidak percaya. Akan tetapi setelah 18 tahun kemudian ramalan itu terbukti, saya berpisah dengan Istri. Dan ramalan itu kembali terbukti ketika selama hidup saya telah mengelilingi 29 Negara, dan selama 6 kali haji, dilakukan dengan gratis.

            Saya sedang membuat proyek, namanya word realigi research. Taman miniatur Masjid Dunia, di atas tanah 215 hektar. Dengan anggaran 600 triliun. Tadinya Saudi Arabia mau membangunkan semuanya, tapi saya tidak setuju. Karena membangun dan dibangunkan itu beda. Karena konsep ini, sesungguhnya adalah konsep politik tingkat dunia. ketika dunia Islam sudah seperti berantakan luar biasa. Maka kemudian harus ada pendekatan secara politik.

            Ketika rapat Disini tidak boleh ada yang boleh digaji, semuanya harus memberi apa yang dia punya. Karena menurut saya, jika digaji maka (nilai) saya menjadi menjadi kecil. Ada yang memberi waktu, memberi uang, memberi perhatian. Untuk dana 600 triliun, kalau mohon kepada Yang Maha Kaya, berapa aja pasti ada. Maka semangatnya adalah mohon kepada Yang Maha Kaya.

            Setelah kami berdoa di Multazam ketika Umroh, maka datanglah beberapa orang dari Negara Turki dan lainnya, semuanya pada mendukung, dan termasuk tanahnya tersebut dihibahkan secara gratis. Ternyata apa yang dijanjikan memang benar, “waman yattaqillah, yaj’al lahu makhroja”. Ini memang tidak ilmiah, akan tetapi sesungguhnya jika orang  semangatnya taqwa kepada Allah, maka semua kesulitan akan hilang. Karena Allah sudah berjanji “Fainna Ma’al ‘Usri Yusron”, bersama dengan kesulitan, ada kemudahan.

            Krisis dunia sekarang sudah tidak logis, coba bayangkan krisis timur tengah. yang menyembelih membaca bismillah, yang disembelih mengucapkan Allahu Akbar. Saudi berkoalisi perang, yang diserang adalah negeri Islam, Yaman kemudian suriah. Pengungsi dari negeri Syam tidak lari dar negeri Syam, larinya ke Eropa. Oleh karena itu diperlukan berpikir out of box, berpikir luar biasa. Karena sesungguhnya sunnatullah sejarah memang seperti itu.

            “watilkal Ayyamu nudaawiluha baynannaas, “ sejarah akan terus bergantian. Oleh karena itu saya sangat sependapat bahwa masa depan Islam ada di Indonesia. Berbeda dengan Islam di Andalusia, yang pernah menjadi abad kejayaan Islam 7 abad lamanya, akan tetapi hingga kini hanya tersisa bangunan-bangunan. Akan tetapi di Indonesia, Islam sudah terjajah 350 tahun lamanya, dan Islam di Indonesia masih utuh sampai sekarang.

            Kekuatannya adalah ada pada para wali. Para wali terdahulu pendekatannya adalah akulturasi budaya, kalau andalus adalah dengan perang. Maka jarang yang tahu, bahwa pesantren adalah inspirasinya dari zaman dulu, Yunani Kuno. Aristoteles, Plato dan sebagainya. Orang yang belajar filsafat disuruh tinggal di Asrama. Yang namanya Pondokeon. Kemudian Yunani runtuh, dan sejarah Islam muncul, pada masa Abbasiyah. Pada masa itu orang yang mencari ilmu luar biasa banyaknya.

            Maka perantau isinya adalah pedagang dan penuntut ilmu. Maka didirikanlah asrama untuk menuntut ilmu dinamakan Funduq (bahasa arab), berasal dari kata Pondokeon. Ketika para wali ke jawa, menemukan pendidikan Hindu. Ada sastri dan cantring.  Guru dan murid tinggal di dalam satu komplek. Guru namanya sastri, murid namanya Cantring. Kata itu mengalami perubahan, dari cantring, cantrik hingga berubah menjadi santri. Sehingga Pesantren adalah warisan Intelektual dari Yunani, Baghdad, lalu kemudian Indonesia.

            Dalam era Global, Pesantren harus kembali memimpin Peradaban. Akan tetapi Pesantren yang masih mengandung nilai tradisionil, penampilannya sederhana tapi harus bervisi global. Jangan lupa, semua yang besar itu asalanya adalah kecil. Dan cita-cita itu ibarat biji. Biji ditanam (sebagaimana kalimah Thayyibah) nanti akan berkembang, ciri pesantren, akrab dengan tradisi, toleran terhadap perbedaan.
             
           

            

Jurus Menulis “Jitu”


Oleh A Fuadi, Novelis Negeri 5 Menara

Tim redaksi Majalah Sabrina dan Pimpinan Pondok Drs. KH. Sulaiman Effendy M.Pd.I sedang wawancara dengan Novelis Negeri 5 Menara, A Fuadi.

            Kenapa Anda memilih Sastra?

            Entah saya memilih atau dipilih, karena Di pondok dahulu selalu diajarkan “Khoyrunnas Anfa’uhum Linnas”. Saya berpikir bagaimana menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain. berbeda dengan orang yang mempunyai banyak uang, punya pesantren, dan mengajar. Kebetulan saya tidak mempunyai semua itu. Lantas saya berpikir tentang apa yang bisa bermanfaat secara luas, saya harus hadir disana. Yaitu sastra, Dan ahirnya saya berpikir bermanfaat bagi orang lain dengan menulis. Kebetulan di Pondok dahulu saya sangat suka dengan menulis.
           
            Setelah itu lalu saya berpikir, mau nulis apa dan isinya apa? Saya mencari sesuatu yang paling berbekas pada diri saya. Yang paling berbekas adalah ingatan ketika menjadi santri, (menulis tentang kehidupan santri) sehingga terbitlah buku Negeri 5 Menara itu. Secara sastra mungkin buku itu perlu diperdebatkan, akan tetapi entah karena itu menulis dengan sepenuh hati. Ceritanya mengandung berkah pondok, ahirnya menjadi tulisan yang Best Seller. Sampai di Gramdeia disebut sebagai buku terlaris sepanjang masa. begitu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, buku itu menyebar lagi, sampai dipakai di sekolah di Amerika, Australi, dan Singapur.

            Jadi Proses kreatif Antum menulis sejak kapan?

            Saya berlatih menuils itu secara tidak sadar sejak Tsanawiyah sebelum ke Gontor. Ibu saya seorang Guru SD yang suka menulis tulisan Diary. Saya baru tahu bahwa kisah hidup itu bisa ditulis di dalam buku. Saya mulai juga mempunyai buku harian. Dan itu berlanjut ketika di Gontor kita diwajibkan membawa bukui harian. Setiap ada acara harus dibawa. Lama-lama secara tidak sadar, latihan seperti itu membuat saya kuat untuk mendeskripsikan sesuatu dengan menulis.

            Tapi saya tidak mempunyai tema mau menulis apa waktu itu. Karena ada proses Internal saya mengatakan, “saya bermanfaatnya seperti apa yah?”. Waktu itu saya sudah pulang dari Amerika, Inggris, hidup sudah nyaman dengan pekerjaan. Lantas dengan itu saya berpikir bahwa kebermanfaatan hidup adalah dengan menulis. Mulaiah saya latihan menulis Novel 5 Menara, dan itu terbantu juga dengan buku harian yang dulu saya tulis ketika masih di Gontor.

            Siapakah orang yang berpengaruh Besar dalam Hidup Kang Fuad?

            Tentunya orang tua, terutama ibu yang “menjerumuskan” (memaksa) saya masuk Pesantren. Kalau tidak disuruh Ibu mungkin tidak ada kehidupan saya seperti sekarang ini. kemudian yang kedua adalah guru-guru di Pesantren yang Inspiratif sekali. Wali kelas saya, Para Kiyai, dan teman-teman. Bagi saya semua itu seperti aliran listrik yang saling menyentuh.

            Bagaimana Tips menulis agar pembaca itu tetap terikat dengan tulisan kita?

            Mengikat pembaca menurut saya adalah mengikat hati. Seperti tulisan laporan ilmiah dan riset, tulisan seperti itu hanya mengikat kepala, tidak mengikat hati. Cobalah menulis dengan mengikat hati, kalau bisa mengikat keduanya (hati dan kepala). Bagaimana mengikat hati? Yaa harus menulis dengan hati, supaya yang tersentuh adalah hati. Tulisan ayat-ayat suci itu menyentuh semuanya. Kita mungkin tidak bisa menulis seperi ayat-ayat suci, tetapi memakai model seperti itulah.

            Tujuan antum dari menulis seperti apa?

            Yaa itu tadi, bagaimana mengamalkan apa yang saya pelajari di Pesantren. Mudah-mudahan tulisan ada manfaatnya. Untuk mengenai tips menulis secara khusus mungkin saya mempunyai beberapa langkah. Pertama adalah bertanya kepada diri sendiri “Why”. Kenapa saya menulis. Niat menulisnya untuk apa? Yang kedua “What”, apayang ditulis? Maka jawabannya adalah Tulislah apa yang kita suka dan membekas di hati.

Yang ketiga “How”, bagaimana menuliskannya? Menuliskannya dengan metode-metode menulis yang baik. Dan bagian dari metode itu adalah riset, tidak hanya dari kepala dan hati kita. Karena ingatan kita terbatas. lakukan wawancara dan observasi. Saya ketika menulis Novel Negeri 5 Menara, wawancara lagi dengan teman-teman di Gontor, membaca lagi buku harian.

 Yang terahir “When”, kapan nulisnya? Nulisnya harus dicicil pelan-pelan setiap hari. karena sedikit demi sedikti lama-lama menjadi bukit. itu adalah proses yang bisa kita coba dalam latihan menulis.

            Apa harapan antum ke depan khususnya dalam dunia tulis menulis, harapan pribadi dan secara umum?

            Harapan saya adalah secara pribadi, dengan tulisan ini adalah jalan saya untuk kebermanfaatan orang lain. dan saya harap, orang muslim atau santri itu tidak hanya fokus pada Iqra’ tapi juga harus Uktub, kadang-kadang itu tidak balance (tidak imbang). Iqra’ memang bagus, tapi  Kadang-kadang kita lupa Uktubnya.

Menulis itukan memproduksi, yang diproduksi itu bukan makanan fisik karena masuk ke dalam fikiran. Kalau kita menulis dan tulisan kita dibaca orang, maka kita akan menguasai pikiran orang. Kalau ingin berdakwah melalui pikiran, salah satunya adalah menulis. Kalau ngomong akan dilupakan orang, kalau menulis maka kita akan berumur panjang. Contohnya kitab Bidayatul Mujtahid, itu kan ditulis oleh Ibnu Rusyd 800 tahun yang lalu,di gontor masih dipakai. Itulah tulisan, yang secara fisik kita melihat masih ada sedangkan orangnya sudah tiada.

            Saya secara pribadi ingin memotivasi para santri di dunia Pesantren untuk menulis, karena umur kita terbatas, sedangkan umur tulisan tidak ada batasnya.


Tugas Mapel Al-Qur'an dan Hadits Kelas XI A dan B MA Misbahunnur

Clue: *Untuk Dapat Menjawab Pertanyaan Materi Al-Qur'an dan Hadits maka ada syarat dan ketentuan yang harus dikerjakan. *Syaratanya a...