Saturday, August 20, 2016

SANTRI HARUS BERPIKIR GLOBAL


Prof. Dr. Ahmad Mubarok, MA
(Ketua Dewan Pembina Konsorsium Pesantren se Indonesia)

            Saat mengikuti acara “Pelatihan Menulis dari Nol Sampai Punya Karya” di Pondok Modern Darul Istiqamah, Pakuniran, Bondowoso. Acara ditutup dengan Haflah Santri Kelas Ahir Program KMI, diahiri dengan ceramah Prof. Dr. Ahmad Mubarok, MA. Ada beberapa poin penting mengenai ceramah tersebut yang ditulis oleh tim Redaksi Sabrina.

            Dengan semangat salaf menembus globalisasi. Saya merasa inilah sesungguhnya pendekatan yang paling tepat pada era global. Karena era global adalah, dimana “dunia mengecil menjadi satu kampung”.  Zaman saya kecil ketika ada peristiwa di kampung saya, di kampung sebelah beritanya sampai esok hari. peristiwa luar negeri, satu minggu kemudian baru terdengar.

            Sekarang, apa yang terjadi hari ini. di Amerika, Afrika dll langsung terdengar (beritanya) begitu juga sebaliknya. Dan melalui teknologi Informasi segala macam bisa diakses.  Bagi orang yang sudah maqamnya, era global membuat kemudahan, kecepatan, efisiensi, efektifitas dan sebagainya. Bagi orang yang belum maqamnya, era globalisasi menjadi porblem. Saya selalu memikirkan sebuah format, bagaimana orang yang tinggalnya di desa, tetap dengan kultur seperti ini tapi visinya global.

            Bagaimana pesantren yang tinggalnya di kampung tetapi mempunyai konsep diri. padahal biasanya, santri selama ini adalah orang yang paling tidak jelas cita-citanya. (Ketika ditanya) “mau jadi apa?” dijawab dengan “cita-cita ingin jadi orang shaleh, punya menantu orang kaya, akan tetapi tidak ada yang punya cita-cita menjadi DPR, penulis dan lain-lain”. oleh karena itu, saya sangat setuju, jika format ini disempurnakan menjadi model. Jadi islam di nusantara visinya adalah global.

            Sekarang ini timur tengah sudah luar biasa hancur lebur. Yang tersisa sekarang tinggal Indonesia. Satu-satunya cara agar tidak dihancurkan adalah kita harus mempersiapkan visi global. Saya dahulu tidak punya cita-cita setinggi langit, (menurut saya) langitnya rendah karena orang miskin dengan situasi yang tradisional. Tapi kebetulan saya adalah orang yang selalu penasaran. Ibaratnya ada gedung lantai 20, ketika di lantai pertama berpikir, “di lantai dua ada apa yah”? membayangkan keatas. Setelah lantai 2, berpikir demikian pula sehingga ahirnya sampai pada lantai atas. Bukan karena cita-cita setinggi langit, tapi karena selalu penasaran.

            Ceritanya waktu di pesantren tradisionil, tiba-tiba ada studi banding Mahasiswa  Universitas Gajah Mada. Datang ke Pesantren, kemudian perilakunya sangat berbeda dengan santri. Ketemu Kyai “Assalamu’alaikum Kyai, apak kabar” mereka terlihat sangat percaya diri. jaketnya sangat bagus. Maka kemudian terlintas dalam hati, “saya mau jadi Mahasiswa”.yang menarik adalah gagah jaketnya dan percaya diri.

            Tahun 65 saya sebagai santri, saya juga menjadi sekretaris Partai NU tingkat kecamatan. Lalu bergaul bersama orang PKI di forum-forum. Waktu itu kalau orang PKI ngomong tidak ada yang berani menjawab. Karena mereka selalu memakai Undang-undang dan pasal. Tapi saya karena sudah pernah sekolah, (setelah saya perhatikan) ternyata orang PKI itu ngawur, menyebutkan pasal-pasalnya ngawur, ketika itu pikiran saya muncul. Pada saat PKI menyebutkan Pasal 27 saya langsung Intruksi, “itu bukan pasal 27”. Pokonya setiap kali ia ngomong saya intruksi.

            Setelah itu orang PKI ngomong, “kalau Adek pengen menjadi orang maju, pergi ke jakarta...!” saya mengamalkan “Undzur Ma Qoola Wala Tanzur Man Qoola”. Ahirnya saya tinggalkan pesantren, guru dan kyai untuk tinggal di jakarta. Setelah di jakarta saya menjadi Marbot Masjid, masjidnya kebetulan dekat dengan kampus. Jadi yang berjamaah itu adalah mahasiswa dan dosen.

Saya tukang azan, tukang menyapu. Satu bulan bekerja, tiba-tiba Imam rawatib tidak datang ke masjid. Terus terjadi dorong-dorongan, antara mahasiswa dan dosen untuk menjadi Imam. Ahirnya salah satu diantara mereka menunjuk saya untuk menjadi Imam.

            Ketika menjadi Imam saya menengok ke belakang ada tiga baris (shaf).  Mahasiswa dan Dosen, sedangkan saya adalah Imam Kampung yang belum tamat SLTA. Disitulah kemudian terjadi proses pembentukan konsep diri. “ternyata orang kampung bisa menjadi Imam orang pinter”. Kemudian timbul pikiran-pikiran iseng yang membuat shalat tidak khusyu’. Sejak saat itulah terbentuk konsep diri, “saya hari ini menjadi Imam orang pinter, lain kali In Sya Allah saya akan menjadi Imam yang lain. suatu saat ingin menjadi Imam Politik.”

            Ada pengalaman yang menarik, dalam usia 23 tahun. Saya diruqyah dan mengikuti Tarekat. Dari ruqyah saya dianter oleh paman saya dan dibai’at tarekat sadiliyyah. saya bertemu dengan Ahli zikir kemudian diramal, diramal bahwa akan berpisah dengan istri dan akan mengelilingii separuh dari dunia. waktu itu saya tidak percaya. Akan tetapi setelah 18 tahun kemudian ramalan itu terbukti, saya berpisah dengan Istri. Dan ramalan itu kembali terbukti ketika selama hidup saya telah mengelilingi 29 Negara, dan selama 6 kali haji, dilakukan dengan gratis.

            Saya sedang membuat proyek, namanya word realigi research. Taman miniatur Masjid Dunia, di atas tanah 215 hektar. Dengan anggaran 600 triliun. Tadinya Saudi Arabia mau membangunkan semuanya, tapi saya tidak setuju. Karena membangun dan dibangunkan itu beda. Karena konsep ini, sesungguhnya adalah konsep politik tingkat dunia. ketika dunia Islam sudah seperti berantakan luar biasa. Maka kemudian harus ada pendekatan secara politik.

            Ketika rapat Disini tidak boleh ada yang boleh digaji, semuanya harus memberi apa yang dia punya. Karena menurut saya, jika digaji maka (nilai) saya menjadi menjadi kecil. Ada yang memberi waktu, memberi uang, memberi perhatian. Untuk dana 600 triliun, kalau mohon kepada Yang Maha Kaya, berapa aja pasti ada. Maka semangatnya adalah mohon kepada Yang Maha Kaya.

            Setelah kami berdoa di Multazam ketika Umroh, maka datanglah beberapa orang dari Negara Turki dan lainnya, semuanya pada mendukung, dan termasuk tanahnya tersebut dihibahkan secara gratis. Ternyata apa yang dijanjikan memang benar, “waman yattaqillah, yaj’al lahu makhroja”. Ini memang tidak ilmiah, akan tetapi sesungguhnya jika orang  semangatnya taqwa kepada Allah, maka semua kesulitan akan hilang. Karena Allah sudah berjanji “Fainna Ma’al ‘Usri Yusron”, bersama dengan kesulitan, ada kemudahan.

            Krisis dunia sekarang sudah tidak logis, coba bayangkan krisis timur tengah. yang menyembelih membaca bismillah, yang disembelih mengucapkan Allahu Akbar. Saudi berkoalisi perang, yang diserang adalah negeri Islam, Yaman kemudian suriah. Pengungsi dari negeri Syam tidak lari dar negeri Syam, larinya ke Eropa. Oleh karena itu diperlukan berpikir out of box, berpikir luar biasa. Karena sesungguhnya sunnatullah sejarah memang seperti itu.

            “watilkal Ayyamu nudaawiluha baynannaas, “ sejarah akan terus bergantian. Oleh karena itu saya sangat sependapat bahwa masa depan Islam ada di Indonesia. Berbeda dengan Islam di Andalusia, yang pernah menjadi abad kejayaan Islam 7 abad lamanya, akan tetapi hingga kini hanya tersisa bangunan-bangunan. Akan tetapi di Indonesia, Islam sudah terjajah 350 tahun lamanya, dan Islam di Indonesia masih utuh sampai sekarang.

            Kekuatannya adalah ada pada para wali. Para wali terdahulu pendekatannya adalah akulturasi budaya, kalau andalus adalah dengan perang. Maka jarang yang tahu, bahwa pesantren adalah inspirasinya dari zaman dulu, Yunani Kuno. Aristoteles, Plato dan sebagainya. Orang yang belajar filsafat disuruh tinggal di Asrama. Yang namanya Pondokeon. Kemudian Yunani runtuh, dan sejarah Islam muncul, pada masa Abbasiyah. Pada masa itu orang yang mencari ilmu luar biasa banyaknya.

            Maka perantau isinya adalah pedagang dan penuntut ilmu. Maka didirikanlah asrama untuk menuntut ilmu dinamakan Funduq (bahasa arab), berasal dari kata Pondokeon. Ketika para wali ke jawa, menemukan pendidikan Hindu. Ada sastri dan cantring.  Guru dan murid tinggal di dalam satu komplek. Guru namanya sastri, murid namanya Cantring. Kata itu mengalami perubahan, dari cantring, cantrik hingga berubah menjadi santri. Sehingga Pesantren adalah warisan Intelektual dari Yunani, Baghdad, lalu kemudian Indonesia.

            Dalam era Global, Pesantren harus kembali memimpin Peradaban. Akan tetapi Pesantren yang masih mengandung nilai tradisionil, penampilannya sederhana tapi harus bervisi global. Jangan lupa, semua yang besar itu asalanya adalah kecil. Dan cita-cita itu ibarat biji. Biji ditanam (sebagaimana kalimah Thayyibah) nanti akan berkembang, ciri pesantren, akrab dengan tradisi, toleran terhadap perbedaan.
             
           

            

No comments:

Post a Comment

Tugas Mapel Al-Qur'an dan Hadits Kelas XI A dan B MA Misbahunnur

Clue: *Untuk Dapat Menjawab Pertanyaan Materi Al-Qur'an dan Hadits maka ada syarat dan ketentuan yang harus dikerjakan. *Syaratanya a...