
Prof. Dr. Ahmad Mubarok, MA
(Ketua Dewan Pembina Konsorsium
Pesantren se Indonesia)
Saat mengikuti acara “Pelatihan
Menulis dari Nol Sampai Punya Karya” di Pondok Modern Darul Istiqamah,
Pakuniran, Bondowoso. Acara ditutup dengan Haflah Santri Kelas Ahir Program
KMI, diahiri dengan ceramah Prof. Dr. Ahmad Mubarok, MA. Ada beberapa poin penting
mengenai ceramah tersebut yang ditulis oleh tim Redaksi Sabrina.
Dengan semangat salaf menembus
globalisasi. Saya merasa inilah sesungguhnya pendekatan yang paling tepat pada
era global. Karena era global adalah, dimana “dunia mengecil menjadi satu kampung”.
Zaman saya kecil ketika ada peristiwa di
kampung saya, di kampung sebelah beritanya sampai esok hari. peristiwa luar
negeri, satu minggu kemudian baru terdengar.
Sekarang, apa yang terjadi hari ini.
di Amerika, Afrika dll langsung terdengar (beritanya) begitu juga sebaliknya.
Dan melalui teknologi Informasi segala macam bisa diakses. Bagi orang yang sudah maqamnya, era global
membuat kemudahan, kecepatan, efisiensi, efektifitas dan sebagainya. Bagi orang
yang belum maqamnya, era globalisasi menjadi porblem. Saya selalu memikirkan
sebuah format, bagaimana orang yang tinggalnya di desa, tetap dengan kultur
seperti ini tapi visinya global.
Bagaimana pesantren yang tinggalnya
di kampung tetapi mempunyai konsep diri. padahal biasanya, santri selama ini
adalah orang yang paling tidak jelas cita-citanya. (Ketika ditanya) “mau jadi
apa?” dijawab dengan “cita-cita ingin jadi orang shaleh, punya menantu orang
kaya, akan tetapi tidak ada yang punya cita-cita menjadi DPR, penulis dan
lain-lain”. oleh karena itu, saya sangat setuju, jika format ini disempurnakan
menjadi model. Jadi islam di nusantara visinya adalah global.
Sekarang ini timur tengah sudah luar
biasa hancur lebur. Yang tersisa sekarang tinggal Indonesia. Satu-satunya cara
agar tidak dihancurkan adalah kita harus mempersiapkan visi global. Saya dahulu
tidak punya cita-cita setinggi langit, (menurut saya) langitnya rendah karena
orang miskin dengan situasi yang tradisional. Tapi kebetulan saya adalah orang
yang selalu penasaran. Ibaratnya ada gedung lantai 20, ketika di lantai pertama
berpikir, “di lantai dua ada apa yah”? membayangkan keatas. Setelah
lantai 2, berpikir demikian pula sehingga ahirnya sampai pada lantai atas.
Bukan karena cita-cita setinggi langit, tapi karena selalu penasaran.
Ceritanya waktu di pesantren
tradisionil, tiba-tiba ada studi banding Mahasiswa Universitas Gajah Mada. Datang ke Pesantren,
kemudian perilakunya sangat berbeda dengan santri. Ketemu Kyai “Assalamu’alaikum
Kyai, apak kabar” mereka terlihat sangat percaya diri. jaketnya sangat
bagus. Maka kemudian terlintas dalam hati, “saya mau jadi Mahasiswa”.yang
menarik adalah gagah jaketnya dan percaya diri.
Tahun 65 saya sebagai santri, saya
juga menjadi sekretaris Partai NU tingkat kecamatan. Lalu bergaul bersama orang
PKI di forum-forum. Waktu itu kalau orang PKI ngomong tidak ada yang berani
menjawab. Karena mereka selalu memakai Undang-undang dan pasal. Tapi saya
karena sudah pernah sekolah, (setelah saya perhatikan) ternyata orang PKI itu
ngawur, menyebutkan pasal-pasalnya ngawur, ketika itu pikiran saya muncul. Pada
saat PKI menyebutkan Pasal 27 saya langsung Intruksi, “itu bukan pasal 27”.
Pokonya setiap kali ia ngomong saya intruksi.
Setelah itu orang PKI ngomong, “kalau
Adek pengen menjadi orang maju, pergi ke jakarta...!” saya mengamalkan “Undzur
Ma Qoola Wala Tanzur Man Qoola”. Ahirnya saya tinggalkan pesantren, guru
dan kyai untuk tinggal di jakarta. Setelah di jakarta saya menjadi Marbot
Masjid, masjidnya kebetulan dekat dengan kampus. Jadi yang berjamaah itu adalah
mahasiswa dan dosen.
Saya tukang azan, tukang menyapu. Satu bulan bekerja, tiba-tiba
Imam rawatib tidak datang ke masjid. Terus terjadi dorong-dorongan, antara
mahasiswa dan dosen untuk menjadi Imam. Ahirnya salah satu diantara mereka
menunjuk saya untuk menjadi Imam.
Ketika menjadi Imam saya menengok ke
belakang ada tiga baris (shaf).
Mahasiswa dan Dosen, sedangkan saya adalah Imam Kampung yang belum tamat
SLTA. Disitulah kemudian terjadi proses pembentukan konsep diri.
“ternyata orang kampung bisa menjadi Imam orang pinter”. Kemudian timbul
pikiran-pikiran iseng yang membuat shalat tidak khusyu’. Sejak saat itulah
terbentuk konsep diri, “saya hari ini menjadi Imam orang pinter, lain
kali In Sya Allah saya akan menjadi Imam yang lain. suatu saat ingin menjadi
Imam Politik.”
Ada pengalaman yang menarik, dalam
usia 23 tahun. Saya diruqyah dan mengikuti Tarekat. Dari ruqyah saya dianter
oleh paman saya dan dibai’at tarekat sadiliyyah. saya bertemu dengan Ahli zikir
kemudian diramal, diramal bahwa akan berpisah dengan istri dan akan
mengelilingii separuh dari dunia. waktu itu saya tidak percaya. Akan tetapi
setelah 18 tahun kemudian ramalan itu terbukti, saya berpisah dengan Istri. Dan
ramalan itu kembali terbukti ketika selama hidup saya telah mengelilingi 29
Negara, dan selama 6 kali haji, dilakukan dengan gratis.
Saya sedang membuat proyek, namanya
word realigi research. Taman miniatur Masjid Dunia, di atas tanah 215 hektar.
Dengan anggaran 600 triliun. Tadinya Saudi Arabia mau membangunkan semuanya,
tapi saya tidak setuju. Karena membangun dan dibangunkan itu beda. Karena
konsep ini, sesungguhnya adalah konsep politik tingkat dunia. ketika dunia
Islam sudah seperti berantakan luar biasa. Maka kemudian harus ada pendekatan
secara politik.
Ketika rapat Disini tidak boleh ada
yang boleh digaji, semuanya harus memberi apa yang dia punya. Karena menurut
saya, jika digaji maka (nilai) saya menjadi menjadi kecil. Ada yang memberi
waktu, memberi uang, memberi perhatian. Untuk dana 600 triliun, kalau mohon
kepada Yang Maha Kaya, berapa aja pasti ada. Maka semangatnya adalah mohon
kepada Yang Maha Kaya.
Setelah kami berdoa di Multazam
ketika Umroh, maka datanglah beberapa orang dari Negara Turki dan lainnya,
semuanya pada mendukung, dan termasuk tanahnya tersebut dihibahkan secara
gratis. Ternyata apa yang dijanjikan memang benar, “waman yattaqillah,
yaj’al lahu makhroja”. Ini memang tidak ilmiah, akan tetapi sesungguhnya
jika orang semangatnya taqwa kepada
Allah, maka semua kesulitan akan hilang. Karena Allah sudah berjanji “Fainna
Ma’al ‘Usri Yusron”, bersama dengan kesulitan, ada kemudahan.
Krisis dunia sekarang sudah tidak
logis, coba bayangkan krisis timur tengah. yang menyembelih membaca bismillah,
yang disembelih mengucapkan Allahu Akbar. Saudi berkoalisi perang, yang
diserang adalah negeri Islam, Yaman kemudian suriah. Pengungsi dari negeri Syam
tidak lari dar negeri Syam, larinya ke Eropa. Oleh karena itu diperlukan
berpikir out of box, berpikir luar biasa. Karena sesungguhnya
sunnatullah sejarah memang seperti itu.
“watilkal Ayyamu nudaawiluha
baynannaas, “ sejarah akan terus bergantian. Oleh karena itu saya sangat
sependapat bahwa masa depan Islam ada di Indonesia. Berbeda dengan Islam di
Andalusia, yang pernah menjadi abad kejayaan Islam 7 abad lamanya, akan tetapi
hingga kini hanya tersisa bangunan-bangunan. Akan tetapi di Indonesia, Islam
sudah terjajah 350 tahun lamanya, dan Islam di Indonesia masih utuh sampai
sekarang.
Kekuatannya adalah ada pada para
wali. Para wali terdahulu pendekatannya adalah akulturasi budaya, kalau andalus
adalah dengan perang. Maka jarang yang tahu, bahwa pesantren adalah
inspirasinya dari zaman dulu, Yunani Kuno. Aristoteles, Plato dan sebagainya.
Orang yang belajar filsafat disuruh tinggal di Asrama. Yang namanya Pondokeon.
Kemudian Yunani runtuh, dan sejarah Islam muncul, pada masa Abbasiyah. Pada
masa itu orang yang mencari ilmu luar biasa banyaknya.
Maka perantau isinya adalah pedagang
dan penuntut ilmu. Maka didirikanlah asrama untuk menuntut ilmu dinamakan
Funduq (bahasa arab), berasal dari kata Pondokeon. Ketika para wali ke jawa,
menemukan pendidikan Hindu. Ada sastri dan cantring. Guru dan murid tinggal di dalam satu komplek.
Guru namanya sastri, murid namanya Cantring. Kata itu mengalami perubahan, dari
cantring, cantrik hingga berubah menjadi santri. Sehingga Pesantren adalah
warisan Intelektual dari Yunani, Baghdad, lalu kemudian Indonesia.
Dalam era Global, Pesantren
harus kembali memimpin Peradaban. Akan tetapi Pesantren yang masih
mengandung nilai tradisionil, penampilannya sederhana tapi harus bervisi
global. Jangan lupa, semua yang besar itu asalanya adalah kecil. Dan
cita-cita itu ibarat biji. Biji ditanam (sebagaimana kalimah Thayyibah) nanti
akan berkembang, ciri pesantren, akrab dengan tradisi, toleran terhadap
perbedaan.
No comments:
Post a Comment