Monday, March 21, 2016

Mencintai Dalam Do’a




            Memang tidak mudah untuk mendefinisikan apa arti dari cinta. Karena cinta lahir dari setiap orang tanpa memandang latar belakang apapun. Dan semua orang telah dianugerahkan oleh Allah Yang Maha Mencinta, cinta-Nya (Rahmat) yang  menaungi seluruh alam. Disini saya tidak akan memberikan definisi tentang cinta, karena bagiku untuk sekarang ini sangat sulit untuk membedakan antara cinta dan nafsu.

            Jika ada sebuah pertanyaan dilontarkan kepadaku tentang perbedaan antara cinta dengan nafsu, mungkin dengan mudah bisa menjawab dengan pengalaman dan pengetahuanku yang minim. Akan tetapi dalam realitanya sangat sulit untuk menyadari batasan-batasan antara keduanya. Karena terkadang berbicara cinta, akan tetapi nafsu berselubung dan ikut campur di dalamnya. Atau berbicara nafsu, yang sesungguhnya akan mengorbankan orang-orang yang aku cintai ; keluarga, sahabat, Alquran dan diriku yang selalu terjerumus di dalamnya.

            Lebih adil jika aku mengatakan pada sumber yang memberikan Cinta, Allah SWT yang telah menegaskan dalam Firman-Nya :

والّذين أمنوا أشد حبا الله .......
“Adapun orang-orang yang beriman, sangat besar cintanya kepada Allah SWT” (Qs. Al-Baqarah : 165).

            Sedikit mencoba ku menganalisa tentang cinta dan nafsu, bahwa apa yang dikatakan orang tentang cinta yaitu “dari mata turun ke hati” tidaklah benar adanya, karena yang dilakukan  justru menjauhkan diri mereka dari Allah dan melanggar syariat-syariat yang telah ditetapkan-Nya, sehingga berujung pada nafsu (ammaroh Bissu’). 

Untuk sementara saya memberikan sedikit pendapat yang lebih tepatnya disebut sebagai nafsu, “dari mata turun ke aurat”. Karena memang yang diinginkan oleh sebagian orang yang mengatasnamakan nafsu dengan cinta, lebih mengedepankan nafsu. Hal ini berakibat dari seseorang yang menginginkan mencintai dalam diam, agar bisa terhindar dari nafsu yang melalaikan.

Sehingga lebih tepatnya cinta dalam apa yang ku alami saat ini, “dari mata naik menjadi Do’a”. Karena memang mencintai dalam diam tidak bisa sepenuhnya dibenarkan dan tidak sepenuhnya disalahkan, tergantung bagaimana seseorang melihatnya dalam perspektif yang berbeda.

Pendapatku mengatakan lebih condong pada yang pertama, bahwa mencintai dalam diam tidak sepenuhnya dibenarkan. Mencintai dalam diam membuat seseorang tersiksa dalam diamnya, tidak mampu berucap pada siapa yang ia cinta. Dan aku hanya berharap dalam doa, yakni bagi siapapun dia yang menjadi teman hidupku kelak.


·         Ghirah karena Lillah

Cemburu terkadang tak pantas. Tak pantas cemburu pada manusia yang memang belum diikat oleh ikatan agama. Karena memang  tempatku berharap hanya kepada Allah SWT. Memang tidak dapat dihindari perasan itu (cemburu) pasti ada, akan tetapi sebisa mungkin aku akan menahannya dan menyerahkan semua urusan kepada Allah SWT. Karena begitu banyak pengalamanku dalam hidup yang dilenyapkan oleh angan-angan tentang wanita.

Semua apa yang dilakukan antara seseorang dengan lawan jenisnya akan berdampak pada semua aktifitas kehidupan,  tidak menutup kemungkinan terhadap pemikirannya. Yang paling berbahaya menurutku adalah ketika hal tersebut dapat melupakan dari mengingat Allah SWT. Karena Alquran secara tegas memberikan ciri khas dari orang-orang munafik, yaitu mereka yang sangat sedikit mengingat Allah SWT.

ولا يذكرون الله إلأ قليلا ......

"Dan mereka tidak mengingat Allah kecuali sedikit sekali” (Qs. An-Nisa : 142)

Sabar dan shalat adalah jalan terbaik dalam meminta pertolongan kepada Allah SWT. Akan tetapi jika nafsu itu terus  meliputi jiwa para pecinta ilmu, maka ia akan menjadi penghalang dengan ilmu tersebut dan penghalang kepada kedekatan Allah SWT (shalat), sehingga doa pun terhalang, yang ada hanyalah angan-angan kosong tentang masa depan. 

Imam Ibnul Jauzi mengatakan bahwa ada makna-makna yang bisa mendukung kehidupan shalat :

Pertama :

Kehadiran hati, maknanya adalah mengosongkan hati dari hal-hal yang mengusiknya. Pendukungnya adalah Hasrat. Jika muncul hasrat yang hendak mengusik hatimu, maka tidak ada jalan lain kecuali mengembalikan hasrat ini kepada shalat. Jika engkau merasa hatimu tidak hadir ketika shalat, maka ketahuilah bahwa sebabnya adalah iman yang lemah. Karena itu berusahalah untuk menguatkan iman.

Kedua :

Memahami makna-makna setiap bacaan. Ini termasuk pendukung kehadiran hati. Bisa saja hati benar-benar hadir mengiringi setiap bacaan, tapi tapi tanpa makna. Maka pikiran harus dikonsentrasikan untuk memahami maknanya, dengan menyingkirkan lintasan-lintasan pikiran dan memotong obyeknya. Sebab jika obyeknya tidak segera dipotong, lintasan pikiran tidak akan enyah. Karena obyek tersebut bisa dzahir dan bisa batin.
Dengan begitu kita bisa mengetahui hal-hal yang membuat shalat menjadi khusyu’ yakni dengan kehadiran hati, yakni memahami bacaan yang kita baca ketika shalat dan memotong jalan syahwat. Mencintai dalam do’a menghendaki aku berbuat demikian, karena aku tidak ingin fokus pada nafsu lalu mengabaikan do’a yang lebih utama. Selamat berjuang para pecinta yang mencari cinta-Nya. Kita mencinta pada Tuhan yang sama, dan diberikan anugerah dari Tuhan Yang Maha memberikan cinta. Oleh karena itu seharusnya kita menghendaki pada cara yang sama dalam menempuhnya.

Maroji’ : Minhajul Qasidin hal 28

ISLAM TANPA “LIBERAL”




            Perlu kita pikirkan bersama tentang sebuah konsep dan pemikiran, atau konsep dalam pemikiran tersebut. Apa yang dimaksud dengan islam dan bagaimana islam mengenalkan dirinya sebagai agama wahyu yang Haq dan memiliki kebenaran aksioma yang tidak bisa disangkal dengan pemikiran manusia itu sendiri, karena Islam adalah agama wahyu dan bersifat Given (pemberian) dari Allah SWT. Oleh karena itu akan lebih adil jika kita menyerahkan semua istilah tentang konsep dan pemikiran Islam tersebut kepada Yang Maha Pemberi yaitu Allah SWT.

            Secara umum kita mengenal istilah tentang agama yaitu ada Agama Samawi dan Agama Ardhi. Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy dalam bukunya FIQHUS SIRAH, menjelaskan bahwa tidak ada suatu istilah yang disebut orang sebagai Adyan Samawiyah (Agama-agama langit) yang ada hanyalah Syariat-Syariat Samawiyah. Dimana syariat yang baru menghapuskan syariat sebelumnya, sampai datang Syariat terahir yang dibawa oleh penutup para Nabi dan Rasul. 

            Sebagaimana Firman Allah SWT, “Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh, dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu, dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu tegakkan agama dan janganlah kamu berpecah-belah tentangnya.” (Qs. Asy-Syura :13). Lebih rinci Alquran menjelaskan bahwa agama dari dahulu hingga sekarang adalah Islam, “Dia Allah telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu...” (Qs. Al-Hajj : 78).

            Dari sini kita dapat memahami dan menyerahkan semua konsep dan pemikiran  kepada Allah SWT yang  lebih berhak memberikannya. Yaitu bahwa Allah SWT bahkan Rasul sendiri dan para sahabat tidak pernah tertulis dalam sejarah memberikan penambahan istilah pada Islam. Berbeda dengan zaman sekarang yang semakin banyak istilah-istilah yang bermunculan tentang Islam yang membuat kita semakin bingung, yaitu Islam toleran, Islam Fundamentalis, Islam Damai, Islam Nusantara, Islam Radikal, Islam Liberal dan lain-lain.
            Sudah saya katakan di awal bahwa yang berhak memberikan konsep dan penamaan dalam agama ini adalah Allah SWT. Sebagaimana Firman-Nya, “sesungguhnya Agama disisi Allah SWT adalah Islam” (Qs. Ali ‘Imran : 19). Sejalan dengan ini, saya hanya memberikan pertanyaan dalam diri, “apakah mereka yang memberikan konsep dan Istilah tentang Islam telah merebut Hak Tuhan?”. Semisal apa yang dikatakan oleh mereka yang mengaku sebagai Islam Liberal dengan mengatakan bahwa mereka  tidak mengakui adanya hukum Tuhan.

            Hal ini tentu bertentangan dengan Alquran yang mengatur manusia sebagai sumber hukum yang jelas-jelas berasal dari Allah SWT. Bahkan untuk itu Alquran mengulanginya hingga tiga kali berturut-turut, “Barang Siapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang Kafir, mereka itulah orang-orang Dzalim dan mereka itulah orang-orang yang fasik” (Qs. Al-Maidah : 44, 45 dan 47).

            Liberalisme (wikipedia online) adalah sebuah ideologi, pandangan Filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan dan persamaan hak adalah nilai politik yang utama. Secara umum, Liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. Paham Liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama.

            Faham liberalisme menghendaki adanya kebebasan tanpa adanya pembatasan dari pemerintah dan Agama. Hal ini sangat bertentangan dengan Ayat, “Wahai orang-orang beriman! Taatilah Allah dan Taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan)” (Qs. An-Nisa : 59). Liberalisme juga membolehkan adanya Pluralisme Beragama, faham ini berujung pada pernyataan bahwa semua agama adalah benar dan menyembah Tuhan yang sama.

            Mari kita mengkaji ulang sejarah tentang Asbabun Nuzul dari Surat Al-Kafirun, bahwa pada saat itu Rasulullah SAW ditawari oleh kafir Quraiys untuk bertukar Tuhan agar mereka bisa bergantian menyembah Tuhan. Akan tetapi Allah menurunkan Surat Al-Kafirun secara tegas bahwa Rasulullah SAW tidak akan menyembah apa yang mereka sembah dan tidak akan beribadah (mengikuti) sebagaimana mereka beribadah.

            Dr. Adian Husaini dalam bukunya 10 Kuliah Agama Islam mengatakan, “jika ada yang menyatakan bahwa semua agama adalah jalan kebenaran, saat itu di kepalanya telah hilang konsep Iman dan kufur, konsep tauhid dan syirik. Baginya tiada penting lagi, apakah seorang bertauhid atau musyrik, tidak perlu dipersoalkan makan daging babi atau ayam, minum Khamr atau Jus Kurma, tidak penting lagi berjilbab atau telanjang, tiada beda antara nikah dengan zina. Yang penting adalah mengasihi sesama manusia. Saat itu, sejatinya agama-agama sudah tidak ada. Sudah diganti dengan SATU AGAMA, yaitu agama Global, agama universal, agama kemanusiaan dan agama cinta”.
            Lebih lanjut Dr. Adian Husaini menjelaskan bahwa kaum Pluralis agama biasanya mengambil dalil Surat Al-Baqarah ayat 62 dan Al-Maidah ayat 69 untuk menyatakan bahwa semua pemeluk agama apapun, asalkan beriman kepada Allah, percaya kepada Hari Ahir dan beramal Shalih pasti akan selamat. Padahal yang dimaksud beriman kepada Allah dalam kedua Ayat tersebut adalah iman yang sesuai dengan Iman konsep Islam, bukan konsep Iman kaum musyrik arab, kaum kristen atau konsep iman agama-agama lain.

            Islam bukanlah agama liberal, karena liberalisme menghendaki kebebasann tanpa adanya aturan Tuhan.  Dalam salah-satu Artikelnya Dr. Adian Husaini mengatakan bahwa Islam memiliki konsep Ikhtiar, yaitu “bebas” memilih sesuatu apapun selagi baik dalam pertimbangan hukum agama. Oleh karena itu berislam-lah yang Kaffah, tidak setengah-setengah. Kita diperintahkan untuk taat kepada Allah, Rasul dan Ulil Amri bukan Ulil Abshar.

ISLAM DAN KONSEP JAHILIYAH




            Dalam mengkaji sirah-sirah Nabawiyah, kita sering mendengar istilah Jahiliyah sebelum kemudian nanti membahas tentang Dakwah Nabi dan kebangkitan islam yang diemban olehnya. Islam yang mampu menjadi oase di tengah gurun, dalam kajian sejarah kita mengetahui ia lahir di tengah-tengah masyarakat Jahiliyah yang tidak lagi mengamalkan ajaran Hanifiyah yang dibawa oleh Abul Anbiya (bapak para Nabi), Ibrahim ‘alaihissalam.

            Jahiliyah yang sangat dikenal dan melekat pada bangsa arab saat itu adalah penyembahan terhadap berhala-berhala dan kemusyrikan yang tersebar di Jazirah arab. Ibnu Hisyam meriwayatkan bagaimana Amr bin Luhayyi ini memasukkan penyembahan berhala kepada bangsa arab. Ia berkata, “Amr bin Luhayyi keluar dari Mekkah ke Syam untuk suatu keperluannya. Ketika sampai di Ma’ab, di daerah Balqa’, pada waktu itu di tempat tersebut terdapat anak keturunan Amliq bin Laudz bin Sam bin Nuh.

            Dia melihat mereka menyembah berhala-berlaha. Amr bin Luhayyi lalu berkata kepada mereka, “apakah berhala-berhala yang kamu sembah ini?”. Mereka menjawab, “ini adalah berhala-berhala yang kami sembah. Kami meminta hujan kepadanya lalu kami diberi hujan. Kami meminta pertolongan kepadanya lalu kamii ditolong. Amr bin Luhayyi lalu berkata lagi, “bolehkah kamu berikan satu berhala kepadaku untuk aku bawa ke negeri arab? Agar mereka juga menyembahnya”. Mereka pun memberinya satu berhala yang bernama Hubal, lalu Amr membawanya ke Mekkah pulang ke Mekkah dan dipasanglah berhala tersebut”

             Demikian adalah awal mula Jahiliyah bangsa arab yang berkaitan dengan menyembah berhala. Kemudian Islam hadir yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW yang melanjutkan dakwah agama Hanifiyah yang dibawa oleh Nabi Ibrahim dan menghapuskan Jahiliyah pada saat itu hingga hari ini. Akan tetapi sejarah telah membuktikan bahwa ketika zaman itu adalah sebuah zaman yang kosong dari kenabian (zaman ini) atau melepaskan konsep Nubuwwah dalam kehidupan, maka ia akan kembali pada zaman Jahiliyah.

            Lebih jelasnya Alquran memberikan empat gambaran tentang zaman jahiliyah, yang kesemua itu adalah mewakili jahiliyah pada saat itu. Untuk kemudian kita membandingkan dengan konsep jahiliyah kekinian yang semakin  mengarah kepada dekadensi moral bangsa dan agama. Pertama Alquran menggambarkan dengan Jahiliyah prasangka (Dzon Al Jahiliyyah) atau jahiliyah Akidah, yaitu kebodohan Akidah bangsa arab pada saat itu tentang keyakinan terhadap tuhan-tuhan mereka.

            Karena mereka tidak mempunyai ilmu dan sumber yang pasti tentang Tuhan mereka, maka yang dilakukan adalah mengira-ngira tentang Allah. Allah berfirman, “mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah” (Qs. Ali Imran : 154). Lihatlah kejahiliyahan mereka saat bertanya tentang konsep ketuhanan kepada Rasul, “Wahai Muhammad, gambarkanlah kepada kami ciri-ciri Tuhan yang mengutus engkau itu? Allah lalu menurunkan Surat Al-Ikhlas sebagai jawabannya.

            Lihatlah sekarang, dimana kita hidup dalam realitanya bahwa manusia meninggalkan Al-quran sebagai sebuah konsep kehidupan. Sehingga Allah pun hilang dari kehidupan, ketika terjadi sebuah permasalahan dalam hidup maka yang dicari bukanlah Allah melainkan meminta pertolongan kepada selain Dia. Contohnya kita bisa melihat dari orang-orang yang meraup kekayaan dengan jalan korupsi, membunuh, atau meminta pertolongan kepada dukun.

            Kedua, Hukum jahiliyah (Hukmul Jahiliyyah). Allah Berfirman, “apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki? (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (Qs. Al-Maidah : 50). Hukum Jahiliyah adalah hukum yang pada saat itu manusia tidak bersumber kepada hukum Allah, hukum jahiliyah tersebut mencakup semua hukum dalam tata kehidupan manusia baik itu hukum sosial, hukum Pernikahan, hukum Negara, hukum negara dan sebagainya.

            Yang bisa kita lihat saat ini adalah hilangnya hukum Allah, termasuk hukum tata negara. Bahwa di dalam Alquran Allah sudah menegaskan agar tidak memilih orang kafir sebagai pemimpin selain dari orang-orang beriman (Qs. An-Nisa : 144). Padahal ayatnya sangat jelas bahwa barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka ia adalah kafir, dzalim dan termasuk orang-orang fasik (Qs. Al-Maidah, 44, 45, 47).

            Ketiga, penampilan jahiliyah (Tabarruj Al-Jahiliyyah). Allah berfirman, “dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah) seperti orang-orang jailiyah dahulu” (Qs. Al-Ahzab :33). Dalam islam sangat memperhatikan betul bagaimana cara berpakaian yang syar’i, yakni dengan menutup aurat dan tidak menimbulkan kesan sombong. Karena berpakaian yang baik adalah bentuk dari penjagaan seseorang terhadap kehormatan dirinya.

            Boleh kita membandingkan dengan busana yang kita lihat hari ini. Kini busana bukan sekedar berfungsi untuk menutup aurat, akan tetapi lebih kepada fashion dan gaya hidup yang hedonis. Bahkan yang menjadi ironisnya ialah ketika berbusana rapih (syar’i) dinilai sebagai penampilan kolot dan jadul, mereka yang berbusana mini lebih dihormati dan diapresiasi sebagai sebuah seni mengindahkan tubuh, lalu mengabaikan konsep jahiliyah yang kita pahami tersebut.

            Keempat, Fanatisme Jahiliyah (Hamiyyatal Jahiliyyah). Allah Berfirman, “ketika orang-orang yang kafir menanamkan kesombongan dalam hati mereka (yaitu) kesombongan jahiliyah, maka Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya..”(Qs. Muhammad : 26). Yang terahir ini Ustad Budi Ashari L.c (pakar sejarah Islam) mengatakan dengan kesombongan atau fanatisme jahiliyah. Karena pada saat itu bangsa arab berselisih tentang perlombaan kuda yang menimbulkan perpecahan diantara mereka, sebagian mengkultuskan pemenang dan sebagian lain mencaci.

            Islam adalah rahmatan lil ‘alamiyn, yaitu agama yang menjadi rahmat bagi semesta alam. Agama yang mampu mengeluarkan manusia dari gelapnya  kehidupan jahiliyah menuju cahaya islam yang siap menerangi siapapun yang menerimanya secara kaffah dan tidak setengah-setengah. Karena jika konsep syariat dalam Islam diabaikan, maka yang ada adalah Jahiliyah yang semakin merebak. Lihatlah hari ini bagaimana kita Jahiliyah saat ini yang bahkan lebih jahiliyah dari zaman yang pernah kita kenal dalam sejarah. Jika dalam sejarah kita mengenal anak perempuan dikubur hidup-hidup, maka saat ini bayi yang belum terlahirpun dibunuh.

Tuesday, March 15, 2016

MUHASABAH GURU



Oleh : Ma’zumi

            Di tengah kesibukan dunia pendidikan, terkadang kita lalai dari muhasabah diri yang seharusnya menjadi evaluasi kita dalam menjalaninya. Karena lebih memandang dunia sebagai tujuan dalam hidup. Maka, alangkah baiknya jika kita (pendidik) sejenak bermuhasabah. Diriwayatkan darin Syaqiq Al-Balkhi Rahimahullah, bahwa dia pernah bertanya kepada Hatim, “sudah berapa lama engkau menyertai aku. Lalu apa saja pelajaran yang bisa engkau serap?” Hatim menjawab, “ada delapan macam”.

            Aku suka mengamati manusia. ternyata setiap orang ada yang dicintainya. Namun jika dia sudah dibawa ke kuburannya, toh dia harus berpisah dengan sesuatu yang dicintainya. Maka ku jadikan yang kucintai adalah kebaikanku, agar kebaikan itu tetap menyertaiku di kuburan. Ku amati Allah SWT Berfirman, “..... dan menahan diri dari keinginan hawa nafsu” (An-Nazi’at : 40). Sebisa mungkin aku mengenyahkan hawa nafsu, sehingga jiwaku menjadi tenang karena ta’at kepada Allah SWT. 

            Setelah kuamati, Aku tahu bahwa setiap orang mempunyai sesuatu yang bernilai dalam pandangannya, lalu dia pun menjaganya. kemudian kuamati Firman Allah SWT, “apa yang disisi kalian akan lenyap, dan apa yang disisi Allah akan kekal.” (Qs. An-Nahl : 96). Setiap kali aku mempunyai sesuatu yang berharga, maka aku segera menyerahkannya kepada Allah SWT, agar ia kekal disisi-Nya.

            Kulihat banyak orang yang kembali kepada harta, keturunan, kemuliaan, dan kedudukannya. Padahal semua ini tidak ada artinya apa-apa. Lalu ku amati Firman Allah SWT, “sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa diantara kalian” (Qs. Al-Hujurat : 13). Karena aku bermal dalam lingkup taqwa agar aku menjadi mulia disisi-Nya.

            Kulihat manusia sering iri dan dengki. Lalu kuamati Firman Allah SWT, “kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia”. (Qs. Az-Zumar : 32). Ku lihat mereka saling bermusuhan. Lalu kuamati Firman Allah, “sesungguhnya setan itu musuh bagi kalian, maka anggaplah ia musuh (kalian).” (Qs. Fathir : 6). Karena itu Aku tidak mau bermusuhan dengan mereka dan hanya setan semata yang ku jadikan sebagai musuh.

            Kulihat mereka berjuang habis-habisan untuk mencari rezeki, lalu kuamati Firman Allah SWT, “Dan, tidak ada satu binatang melata pun di bumi melainkan Allah lah yang memberikan rezekinya.” (Qs. Hud : 06). Lalu kuamati mereka mengandalkan perdagangan, usaha dan kesehatan badan mereka, tapi aku mengandalkan Allah SWT dengan bertawakkal kepada-Nya.

            Predikat guru sebagai pendidik hendaknya menjadikannya sebagai seorang hamba yang seutuhnya menyerahkan semua urusan hanya kepada Allah SWT. Termasuk dalam hal mendidik generasi bangsa yang kelak menjadi tulang punggung kebangkitan peradaban Indonesia yang berkemajuan dalam konteks generasi Qur’ani. Lihatlah Nabi Nuh, yang tidak pernah lelah mendidik anak hingga Allah pula yang memberikan keputusan atas mereka.

Tugas Mapel Al-Qur'an dan Hadits Kelas XI A dan B MA Misbahunnur

Clue: *Untuk Dapat Menjawab Pertanyaan Materi Al-Qur'an dan Hadits maka ada syarat dan ketentuan yang harus dikerjakan. *Syaratanya a...