OLEH : Ma’zumi
MAHASISWA TARBIYAH LATANSA MASHIRO
semester V, mengajar di PPM. Manahijussadat.
Beberapa bulan
yang lalu beredar informasi dari berbagai media massa yang sangat mengguncang
dan menyorot perhatian kaum muslimin di tanah air. Pasalnya situs-situs yang
selama ini menjadi pusat informasi dan referensi dakwah Islam telah diblokir
oleh KEMENKOMINFO yang bekerjasama dengan BNPT beralasan bahwa pada situs-situs
tersebut berisi dukungan terhadap gerakan islam radikal, mendukung ISIS, dan
menjelek-jelekkan pemerintahan sekarang.
Situs-situs yang diblokir ialah Arrahmah.com, Voa Islam.com,
ghur4ba.blog.spot, Panjimas.com, thoriguna.com, dakwatuna.com, kalifahmujahid,
an-najah.net, muslimdaily.net, hidayatullah.com, salam-online.com,
aglislamiccenter.com, kiblat.net, dakwahmedia.com, mugawamah.com, lasdipo.com,
gemaislam.com, eramuslim.com dan daulahislam.com.
Tapi apakah benar
dari situs-situs demikian berisi tentang ajakan untuk gerakan islam radikal? Dengan
penyelidikan yang dilakukan tim kemenkominfo itu apakah ada bukti yang dapat
dipaparkan ke depan khalayak ramai untuk meyakinkan publik bahwa mereka
melakukan hal-hal demikan? Kenapa sebelumnya tidak ada izin atau teguran
terlebih dahulu kepada pihak pengelola situs terebut? Bukankah cara terbaik
dalam islam menyelesaikan masalah dengan bermusyawarah. Lantas bagaimana
penanggulangan terhadap situs-situs porno yang hingga saat ini masih beredar
dan dapat diakses berbagai kalangan? Atau Faham-Faham Liberal yang semakin
menjangkit di masyarakat.
Jika melihat
permasalahan demikian, rasanya pemerintah menilai secara subjektif. Menutup
satu mata untuk fokus pada masalah lain yang belum jelas kebenarannya. Karena
dengan diblokirnya media islam secara otomatis pengaruh dakwah Islam semakin
terbatas, semakin terbatasnya informasi tentang agama akan menjadikan
pendangkalan pengetahuan tantang agama tersebut sehingga yang awam semakin awam
dan yang alim tak dapat mentranformasi ilmu. Lalu bagaimana dengan demokrasi Indonesia yang katanya bebas
menyampaikan pendapat?
Jauh sebelum
permasalahan tersebut muncul, ramai dibincangakan dalam diskusi umum di
berbagai media massa dan jejaring sosial tentang toleransi beragama. Ucapan
selamat hari natal yang tidak dipebolehkan dalam Islam menjadi polemik bagi
semua kalangan masyarakat khususnya islam dan kristen. Pihak non muslim
beranggapan bahwa umat islam tidak ada toleransi kepada agama lain dengan tidak
memberi ucapan selamat kepada umat kristiani.
Yang menjadi ironisnya
lagi ialah Ulama kita berselisih pendapat
mengenai hal itu, yang satu menghalalkan dan yang lain mengharamkannya
dengan pendapat yang berbeda. Dimana
dalam hal ini membuat kerancuan pemahaman di masyarakat tingkat awam
secara umum. Perbedaan pendapat menjadi hal yang wajar dalam islam tapi tidak
untuk diperdebatkan dan tidak untuk menggolong.
Fenomena-fenomena
dan polemik tentang permasalahan agama islam memang sangat beragam. Dari segala
sisi islam sangat menarik untuk dikaji, sehingga apapun yang berkaitan dengan
islam tidak akan luput dari gejala sosial yang ada. Beberapa tahun silam
tepatnya pada tahun 2002 terdapat berita yang menghebohkan dari artikel yang dimuat
di salah satu surat kabar ternama yang berjudul “Menyegarkan kembali
pemahaman Islam, Sebuah Afirmasi”.
Artikel tersebut
ditulis oleh salah satu ulama jebolan NU yang menggabungkan dirinya dengan
organisasi JIL (Jaringan Islam Liberal), Ulil Absar Abdalla. Salah satu
ungkapan kontroversial yang ia tulis dalam artikel tersebut ialah ia tidak
mengakui adanya “Hukum Tuhan” dalam pengertian seperti yang dipahami kebanyakan
orang Islam.
Misalnya, hukum
Tuhan mengenai pencurian, jual beli, pernikahan, pemerintahan, dan sebagainya.
Karena menurut dia yang ada hanyalah prinsip-prinsip umum yang universal yang
dalam tradisi hukum islam klasik disebut sebagai maqashidusy syari’ah,
atau tujuan umum syari’at islam. Setelah mengungapkan beberapa alasan dalam
artikelnya ia melanjutkan bahwa kedudukan Nabi Muhammad s.a.w adalah tokoh
historis yang harus dikaji secara kritis karena sebagai manusia Nabi memiliki
banyak kekurangan dan tidak wajib mengikuti Rasul secara harfiah.
Untuk lebih memahami dunia islam memang sangat menarik untuk
dibahas dan dikaji lebih mendalam. Karena ruang diskusi terbuka untuk umum, di
berbagai media massa semua bisa berpendapat begini dan begitu. Tapi apakah
dibenarkan oleh Islam tentang siapa orang yang lebih berhak untuk berbicara masalah
agama hingga menentukan Ijtihad? Dan orang yang tidak beragama pun dengan mudah
berpendapat tentang agama.
Hal ini yang telah
diungkapkan di dalam Al-qur’an Surat Al-Hajj ayat 3 yang artinya “ dan
diantara manusia ada yang berbantahan tentang Allah tanpa ilmu dan hanya
mengikuti para setan yang sangat jahat” di ayat 8 Allah menegaskan “ dan
diantara manusia ada yang berbantahan tentang Allah tanpa ilmu, tanpa petunjuk,
dan tanpa kitab (wahyu) yang memberi
penerangan”.
Perkembangan
Liberalisme di Tanah Nusantara yang kian menjamur semakin menjadikan kalangan
awam skeptis tentang agama yang selama ini mereka yakini, Islam. mulai dari
pemikiran tentang kebenaran relatif, Islam Nusantara, Perkawinan beda Agama, UU
Pornografi, Feminisme, Emansipasi wanita, hingga toleransi beragama yang tiada
mengenal batas. Baru-baru ini mulai ramai diskusi Toleransi bergama yang
mempermasalahkan boleh tidaknya mengucapkan “Selamat Hari Natal”.
Toleransi beragama
adalah menghargai dan menjunjung tinggi asas keberagamaan antar pemeluk agama
dengan keyakinan masing-masing, bukan saling menghasut dan menimbulkan gejala
perpecahan yang berakibat pada ranah sosial yang lebih luas. Karena beragama
adalah hak prerogatif masing-masing individu, tidak ada paksaan dalam beragama
(untuk mengikuti agama lain). pemaksaan hanya ada ketika orang tersebut sudah
ada ikatan dengan agamanya. Tolereansi beragama bisa dilihat dari surat
Al-Kairun, “Lakum Diynukum Waliyadiyn”.
Menyegarkan
kembali pemahaman islam, haruslah tidak dengan cara-cara yang kontroversial.
Pemahaman islam dengan mengkaji dan menggali lebih dalam arti islam yang lebih
luas dan konfrehensif, tidak setengah setengah. Karena pada sebagian manusia
hanya menerima islam dengan setengah-setengah (Qs.Al-Hajj : 11).
Memang Islam
dibangun bukan untuk peperangan diatas pedang yang terhunus, tapi bukan berarti
kita harus menghilangkan makna jihad fi sabilillah yang menjadi karakteristik dari
puncak beribadah kepada Allah SWT. Mukmin yang baik tidak semena-mena menerima
informasi dengan mudah dan pemahaman yang setengah-setengah, karena kita
diwajibkan untuk bertabayyun (meneliti kebenaran dari informasi yang beredar)
bukan semena-mena menjustifikasi golongan tertentu tanpa alasan yang jelas.
“Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu
berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu.” (Qs.Al-Hujurat : 6).
Islam adalah
Rahmatan Lil ‘Alamiyn, kebenaran ajaran islam yang tertuang dalam Syariat
untuk menolong manusia seluruh alam, apapun agamanya, ras dan sukunya. Karena
bumi Allah haruslah diwariskan oleh hamba-hamba-Nya yang shaleh. Mengutip
pendapat Dr. Adian Husaini dalam
salah-satu artikelnya, kebebasan Islam adalah mempunyai konsep Ikhtiyar yaitu
bebas memilih yang baik, sedangkan kebebasan Liberal adalah bebas tanpa adanya
batasan antara baik dan buruk.
No comments:
Post a Comment