Oleh : Ma’zumi
Alumnus PP. Al-Amien Prenduan,
Sumenep Madura
Kata Sejarah berasal dari Bahasa
Arab “Syajarotun” yang berarti Pohon. Pohon yang di dalamnya terdakap
akar, batang, cabang, daun, buah dan biji. Oleh karena itu untuk mengenal
sejarah maka kenalilah akarnya atau sumber sejarahnya, dengan mengetahui sumber
yang benar maka tidak ragu untuk mengetahui kepastian ilmu yang benar. Ibarat
Al-Qur’an maka tidak ada keraguan di dalamnya karena sumbernya jelas yaitu Nabi
Muhammad Saw sebagai penerima wahyu dari Allah melalui perantara malaikat
Jibril.
Pengertian lain dari sejarah adalah
meminjam istilah Tarikh yang terambil dari Bahasa Arab yang berarti
waktu. Pengertian Tarikh dalam Buku Tarikh Khulafa (Prof. Dr. Ibrahim
Al-Quraibi) adalah Informasi tentang sebuah dekade waktu, yang disana terjadi
berbagai macam peristiwa. Disiplin ilmu yang memberikan Informasi tentang
perkembangan sebuah masyarakat, serta media untuk memahami berbagai macam
peristiwa yang terjadi di masa lampau, sekaligus sejauh mana perkembangan itu
mempengaruhi masa yang akan datang.
Jika kita simpulkan dari pengertian
diatas, maka untuk mendapatkan kebenaran suatu ilmu harus diperoleh dari
sejarah yang benar berdasarkan sumber yang dapat dipercaya sesuai dengan waktu
kejadiannya, sehingga akan membuahkan permata ilmu. Karena kebenaran akan
bersumber dari yang benar (Al-Haqqu min rabbika). Sebagaimana Allah
Berfirman dalam Al-Qur’an, “Perhatikan sejarahmu untuk hari esokmu” (Qs.
59 : 18).
Al-Qur’an sendiri adalah kitab suci
yang di dalamnya mengandung sepertiga sejarah dan menganjurkan kepada kita
untuk belajar dari Sejarah. Bahwa Al-Qur’an bukanlah perkataan yang dibuat-buat
akan tetapi membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya. Kata ‘Ibrah dalam
ayat tersebut mempunyai arti menyebrang, Ma’bar yang berarti
jembatan, artinya bahwa pentingnya
sejarah berfungsi untuk menghubungkan kita yang hidup hari ini dengan kehidupan
zaman dahulu agar menjadikan pengajaran bagi orang yang menggunakan akalnya
untuk berpikir (Qs. Yusuf : 111).
Akan tetapi ketidaksadaran kaum
muslimin akan hal itu sangat berpengaruh negatif terhadap ilmu dan keotentikan
sejarah Islam sendiri, bahwa yang membangun peradaban dunia dan peradaban ilmu
di Indonesia sendiri adalah berakar dari sejarah Islam. banyak sekali distorsi
sejarah ilmu yang melupakan sejarah Islam sebagai tonggak kemajuan manusia
yang berperadaban. Salah-satunya adalah
distorsi sejarah Pesantren itu sendiri, apakah benar Sejarah Pesantren berasal
dari bahasa san sekerta yang diambil dari Agama Hindu?
Mari kita mengkajinya dengan buku
karya Ahmad Mansur Suryangara yang berjudul “Api Sejarah, Maha Karya
Perjuangan Ulama dan santri dalam menegakkan NKRI” Penerbit Suryadinasti.
Disini kita banyak menemukan penyimpangan-penyimpangan sejarah Indonesia dan
Sejarah Pesantren sendiri. Bahwa ada yang mengatakan Indonesia dibangun oleh
kerajaan Sriwijaya dan Majapahit adalah sebuah kesalahan Fatal begitu juga
kesalahan yang mengatakan bahwa Pesantren adalah sistem pendidikan yang diambil
dari agama Hindu.
Dalam penulisan sejarah Indonesia,
pada umumnya menuturkan adanya kekuasaan politik Islam atau kesultanan di
Indonesia, terjadi sesudah kerajaan Hindu Majapahit runtuh. Tidak dimengerti
bahwa kerajaan Hindu Majapahit didirikan pada 1294. Padahal, sembilan belas
tahun sebelumnya di sumatra telah terjadi kesultanan Samudra Pasai pada 1275.
Tidak pula bahwa di Aceh telah berdiri kekuasaan politik Islam Aceh pada Abad
ke-9 M. Hal ini membuktikan bahwa Indonesia di bangun oleh kerajaan Islam.
Adapun distorsi sejarah pesantren,
pembenarannya adalah dengan membuktikan bahwa Pesantren merupakan sistem
pendidikan yang dikonversikan dari sistem pendidikan pada masa khilafah Umayah,
Abbasiyah dan Fatimiyah yang sangat besar pengaruhnya atas pesantren di
Nusantara Indonesia. karena itu, tidak benar yang menyatakan pesantren meniru sistem pendidikan
Hindu Budha karena kenyataannya di Bali tidak terdapat Pesantren Hindu atau
Budha.
Fungsi Pesantren tidak hanya melahirkan Ulama. Namun, pesantren
juga sebagai kancah pembinaan Pemimpin Bangsa. Para Putra Soeltan dari
kesultanan ternate, tidore dan maluku pada umumnya, dipesantrenkan kepada
Waliullah Sunan Ampel Surabaya dan sunan Giri di Gresik. Dan Pemakaian Toga
wisuda yang bersegi empat adalah lambang Ka’bah, serta penamaan Madrasah adalah
setara dengan nama Perguruan Tinggi atau lebih dikenal Universitas.
Termasuk penamaan Jakarta adalah karya salah seorang wali dari Wali
Sanga yang bersumber dari Al-Qur’an yang terjadi bertepatan pada Bulan
Ramadhan. Nama Fathan Mubiyna ( kemenangan Paripurna) atau Jayakarta
yang kemudian dirubah menjadi Jakarta sebagai perjuangan sekaligus jawaban
Ulama dan Santri melawan keputusan Paus Alexander VI dalam perjanjian
Tordesilas, 1494, yang memberikan
kewenangan kerajaan katolik Spanyol dan Portugis untuk mempelopori penegakan Imperialisme atau penjajahan Barat
di dunia.
Belum lepas dari perjuangan santri
yang ditindas oleh Pemerintah kolonial Belanda yang hanya memberikan fasilitas
pendidikan untuk kalangan anak bangsawan dan anak Raja serta anak Eropa. Tidak
lupa diberikan Fasilitas secara diskriminatif kepada Cina dan Ambon. Pesantren
dijadikan target serangannya, ruthless operation (operasi yang tidak
kenal belas kasih). Kiai atau Ulamanya digantung. Bangunan dan sarana
pendidikan lainnya dibakar atau dirusakkan. Santri-santrinya ditangkap dan
dibuang jauh dari wilayah asalnya.
Belum cukupkah contoh diatas menjadi
bukti bahwa Islam di Nusantara dibangun oleh Ulama dan Para Santri, yakni dari
Pesantren. Tidak sadarkah kita sekarang bahwa perlahan Negeri ini mulai
diserahkan kepada Pemimpin kafir yang tidak memihak terhadap Islam, kita lihat
saja siapa yang memimpin Jakarta sekarang? menjadi penyimpangan yang besar
melihat minuman keras dilegalkan sebagai
barang yang layak untuk dikonsumsi. Untuk mengembalikan Indonesia, kembalikan
kepada Sejarah. Yakni kembalikan kepada Santri yang siap membangun Bangsa
sebagai manifestasi dari tugas Khalifatullah fil Ardh.
Sumber
: Api Sejarah, Mahakarya Ulama dan Santri dalam menegakkan NKRI, Hal 140-141.
Oleh Ahmad Mansur Suryanegara.
No comments:
Post a Comment