Belajar dari
Imam Ibnu Jauzi
oleh : Yusuf Ma'zum Al-Hujjah
Sangat banyak kita temui dari para
santri keluhan-demi keluhan tentang banyaknya hafalan di pondok sehingga
membuatnya pusing, berbeda dengan ketika ia masih sekolah di luar yang tidak
mengedepankan menghafal sebagai proses pendidikan. Jika
anda termasuk santri yang sangat membenci pelajaran yang di dalamnya
diwajibkan oleh Guru untuk “menghafal”, maka sebenarnya tidak ada yang
salah dari Guru ketika ia menyuruh untuk menghafal pelajaran, yang perlu
dirubah adalah perspektif dalam menghafal ilmu itu sendiri, bahwa menghafal
adalah sesuatu yang menyenangkan dan membuat kita menjadi pintar.
Dikutip dari kitab yang berjudul “Al-Hats ‘ala Hifdzil
Ilmi Wa Dzikr Kibar Al-Huffadz” karya Imam Ibnu Jauzi dengan judul
terjemahan, “Hafalan Buyar tanda tak pintar” disini penulis hanya ingin
memaparkan betapa pentingnya menghafal ilmu bagi para santri terutama dalam
menghafal Al-Qur’an dan Hadits. Karena tradisi keilmuan islam adalah dengan
mempelajari ilmu melalui proses hafalan, hal ini yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad s.a.w. dalam mengajarkan para
sahabatnya, hingga generasi tabi’in masih banyak yang menggunakan menghafal
sebagai proses menjadikan pribadi yang berilmu.
Namun sekularisme yang diusung peradabana Barat membuat mata rantai khazanah
keilmuan Islam terputus, sehingga seorang penuntut ilmu dari kalangan
santri/muslim tidak menemukan induk dari pendidikan Nabawi yang menekankan
terhadap kurikulum iman dan ilmu. Walhasil, output dari tarbiyah sendiri masih
tidak mampu melahirkan generasi terbaik sebagaimana generasi terdahulu. Seperti
para ilmuan Islam yang berkiprah hampir pada setiap bidang ilmu, mereka
mengawalinya dari proses hafalan (Al-Qur’an/Hadits).
Pendidikan yang bercorak Barat hanya
menekankan sekularisme tanpa mengedepankan keimanan dan akhlak, sehingga
sekularisme Pendidikan yang ada berakibat memisahkan agama dan keberagamaan
dari kehidupan. Ketika agama sudah dipisahkan
dalam kehidupan, maka yang terjadi hanyalah kerusakan dan ketimpangan dalam
konsep dan realita kehidupan yang ada. Oleh karena itu, mari kita junjung
kembali dengan tradisi keilmuan islam yang telah terbukti menghasilkan generasi
terbaik, salah-satunya adalah dengan
memulai pembelajaran diawali dengan proses menghafal.
Urutannya adalah ketika seseorang hendak belajar, maka
yang pertama kali ia pelajari dalam usia
sebelum baligh diajarkan tentang akidah (iman) dan adab sopan-santun, sehingga
ketika ia hendak belajar ilmu (Al-Qur’an) maka imannya bertambah. Syekh Nawawi
Al-Bantani sendiri memberikan urutannya yaitu, ilmu tauhid, Tafsir, Ilmu
Tafsir, Fiqih, Ushul Fiqh dan Bahasa Arab. Yang menjadi permasalahan kita hari
ini adalah tidak belajar iman, tidak pula belajar Al-Qur’an, sehingga semakin
nyata dekadensi moral umat.
Dalam Mukaddimahnya Imam Ibnu Jauzi mengatakan, “sesungguhnya
Allah S.W.T. mengistimewakan umat kita dengan menghafal Al-Qur’an dan Ilmu.
Umat sebelum kita juga membaca kitab mereka yang terdapat dalam
lembaran-lembaran, akan tetapi mereka tidak mampu menghafalkannya. Tatkala
Uzair datang dan membaca Kitab Taurat dengan Hafalan di luar kepala, mereka
berkata, “ Apakah ini anak Allah S.W.T?” .
Betapa terkejutnya Bani Israil yang menemukan seorang
pemuda yang mampu menghafal seluruh isi kitab Taurat sehingga mereka
menyebutnya dengan “Anak Allah”, sehingga hal demikian diabadikan dalam
Al-Qur’an (Qs. At-Taubah :30). hal ini diibaratkan dengan umat islam yang mampu
menghafal Al-Qur’an 30 Juz di luar kepala, apakah mereka menganggap bahwa orang
yang hafal Al-Qur’an adalah anak Allah?. Selanjutnya ia mengungkapkan, “Bagaimana
kita tidak bersyukur saat melihat anak yang berusia 7 Yahun sudah Hafal Al-Qur’an”.
Sungguh luar bisanya ciptaan Allah
S.W.T. apabila kita mau mengkajinya lebih mendalam. Manusia terlahir kedunia
dengan tugas sebagai Khalifah Allah di bumi, oleh karena manusia adalah mahluk
yang diberikan beban maka Allah memberikan Akal untuk berpikir dan bertugas
sesuai dengan yang dikehendaki Allah S.W.T. Salah satu yang telah digariskan
oleh Allah adalah bahwa manusia diciptakan dengan bentuk yang sempurna (Qs.
At-Tin : 4).
Manusia diberikan bekal Intelektual berupa 100 miliar
neuron aktif serta 900 miliar neuron pendukung saat lahirnya, sebuah potensi
luar biasa sebagai bekal menjalani peran sebagai Khalifatullah di bumi. Karena
jika setiap detik sebuah informasi baru masuk ke dalam otak, maka dalam waktu
30 juta tahun otak kita baru akan terisi penuh, menjadi hal yang sangat
disayangkan jika nikmat yang besar ini disia-siakan, apalagi oleh seorang
penuntut ilmu khususnya dari kalangan santri sendiri. Hal ini yang sangat
bertentangan dengan teori pendidikan Barat yang mengatakan bahwa menghafal
adalah tidak ramah terhadap otak.
Demikian apa yang disampaikan oleh Imam Ibnu Jauzi dalam
bukunya, ia adalah seorang Ulama Besar yang di tangannya ribuan Yahudi dan
Nasrani masuk Islam. dan menggantikan gurunya yang wafat untuk mengajar di
Majelis ilmu saat ia berusia Baligh. Sehingga beliau lebih pantas untuk membahas tentang
pentingnya menghafal ilmu.
No comments:
Post a Comment