oleh : Yusuf Ma'zum
Banyak wanita yang hingga kini
dengan usianya yang relatif menginjak masa pelaminan tidak kunjung menemukan
calon Imam yang akan mendampinginya kelak. Karena untuk memilih seperti itu
tidak semudah mengedipkan kedua mata. Namun sejauh mata memandang, wanita
dituntut demikian. Begitu pula dengan lelaki yang mempunyai tanggung jawab yang
lebih besar memegang amanah Qowwamah dalam rumah tangga.
Banyakk jalan yang ditempuh
seseorang dalam menuju masa pelaminan. Seperti pacaran, Teman tapi mesra (TTM),
kawin gantung dan sebagainya. Alangkah perihnya hidup yang dirasakan seseorang
yang bertahun-tahun menjalankan ikatan cinta, namun takdir pula lah yang
memisahkan, karena manusia tidak akan puas berbicara masalah takdir tan tidak mungkin
ada jodoh yang tertukar. Dengan alasan demikian, maka manusia diberikan panduan
untuk mengenal rahasia langit. Termasuk memahami calon pasangan hidup yang akan
dipilih yaitu memilih lelaki idaman versi AL-Qur’an.
Pertama, kita harus yakin bahwa Alllah
SWT tidak akan menzalimi hamba-Nya dan tidak mungkin memberikan cobaan di luar
kemampuan hamba-Nya. Tapi kenapa cobaan hidup terasa amat berat? Karena mungkin
sebagai hamba Allah SWT kita banyak melalaikan-Nya. Banyak melalaikan Allah SWT
berarti banyak melalaikan kebaikan, dengan demikian apakah kita pantas berharap
kebaikan (jodoh) sedangkan kita sendiri melupakan-Nya? Ataukah beratnya hidup
termasuk dari cobaan yang diberikan Allah SWT, kedua hal itu mungkin terjadi.
Tapi pastinya bahwa Allah SWT tidak akan mendzalimi hamba-Nya.
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (Qs. Al- Baqarah : 286).
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (Qs. Al- Baqarah : 286).
Kedua, tentu
wanita menginginkan calon Imam yang
Shaleh dan taat pada agamanya, sungguh menjadi kesalahan yang besar jika yang
diukur hanya harta. Lalu untuk mengetahui kadar keshalehan seseorang kita bisa
melihatnya dari Surat Al-Tahrim yang sudah sangat lengkap membicarakan tentang
keluarga. Dimulai deri keluarga yang paling mulia, yaitu keluarga Nabi Muhammad
Saw. Dan diahiri oleh contoh keluarga yang gagal dalam pembinaannya, yaitu
keluarga Nabi Luth as, Nabi Nuh as dan Asiyah yang bersuamikan Fir’aun
Laknatullah.
Akan tetapi Allah
memberikan Konsep dasar dalam ayat tersebut yaitu tentang membina keluarga dan
bagaimana cara mencari calon Imam keluarga yang shaleh.
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah
dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai
Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan.” (Qs. At-Tahrim : 06).
Kata “ "قوا dalam dalam ayat tersebut masih ada kaitannya dengan kata Taqwa
yang berakar kata dari “Waqaa-Yaqiiy- Wiqooyatan” yang mempunyai arti
“mencegah”. Istilah mencegah biasanya digunakan untuk mengantisipasi seusuatu
kemungkinan buruk yang belum terjadi, jika sudah terjadi keburukan tapi belum
tercegah berarti keluar dari konsep ini. Maka untuk mencari lelaki Idaman
adalah yang pandai mencegah dari hawa nafsu ingin bertemu sebelum pertemuan
suci yang diucapkan lewat akad Nikah. sehingga tercapailah tujuan kedua dari
ayat tersebut yaitu pemimpin keluarga yang sanggup menjaga keluarganya dari Api
Neraka.
Lalu apakah
laki-laki yang hobi berpacaran, bertemu dengan yang bukan mahram hingga tiada
batas dalam pergaulannya bisa menjaga keluarganya dari Api Neraka? Padahal di
awal ia tidak sanggup untuk menahan hawa nafsu syahwatnya. Ialah seorang Dayus
yang tidak akan mencium bau surga, yaitu seorang suami yang tidak cemburu
ketika Istri dan anak perempuannya berjalan dengan lelaki lain (Hadits).
Lelaki yang shaleh
adalah mereka yang selalu merindukan Masjid dan selalu membasahi lidahnya dari
berdzikir kepada Allah SWT. Hal ini pula yang termaktub di dalam Hadits bahwa
ia termasuk dari 7 golongan yang akan mendapatkan naungan Allah pada hari tiada
lagi selain naungan-Nya.
“Dan
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh benar-benar akan kami
masukkan mereka ke dalam (golongan) orang-orang yang saleh.”(Qs. Al-‘Ankabut
: 9).
Al-Qur’an
ketika membicarakan tentang orang yang bertashbih di rumah-rumah Allah SWT pagi
dan petang, maka kata yang muncul setelah ayat tersebut adalah “Rijal”
yang berarti laki-laki.
’
“ Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang Telah
diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu
pagi dan waktu petang, Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan
tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan
sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. mereka takut kepada suatu hari yang
(di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang”
( Qs. Nur : 36-37).
Serta dalam ayat yang lain ketika
berbicara tentang hamba Allah SWT yang selalu mensucikan dirinya di dalam
Masjid, maka yang keluar adalah kata “Rijal”.
Ÿ
“Janganlah
kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya. sesungguh- nya mesjid yang
didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut
kamu sholat di dalamnya. di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin
membersihkan diri. dan Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (Qs.
At-Taubah : 108).
Irman adalah cerminan hamba Allah
SWT yang shaleh, ia bukan dari golongan Nabi. Tapi dengan amal shaleh dan
keimanan yang ia miliki Allah menakdirkannya mempunyai keturunan cucu yang
menjadi Nabi yaitu Isa as. Hingga namanya di sejajarkan di dalam Al-Qur’an
dengan para Nabi.
“Sesungguhnya Allah Telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim
dan keluarga 'Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing)”
(Qs. Ali-Imran : 33).
Dengan ini Al-Qur’an memberikan
contoh kepada siapapun yang hendak mencari pasangan hidupnya, yaitu Imam yang
shaleh mampu menjaga diri dan keluarganya dari Api Neraka untuk kemudian
sebagai reward dari Allah maka akan diberikan keturunan yang shaleh. Artinya
bahwa dengan amal shaleh seorang lelaki maka akan mampu membina keluarganya
hingga menuju surga, dan contoh dari Imran sebagai orang biasa agar kita tidak
lagi beralasan dengan mengatakan “tidak mungkin, kita bukan Nabi dan bukan
sahabat Nabi” . bahwa siapapun berhak menjadi orang shaleh berdasarkan
kriteria diatas.
Sumber : Kajian Parenting Nabawiyah,
Ustadz Budi Ashari L.c.
No comments:
Post a Comment