Kekuasaan
menurut Ibnu Khaldun merupakan jabatan kedudukan yang alami bagi manusia. Seba,
manusia tidak mungkin dapat melangsungkan hidupnya dan melanggengkan
eksistensinya, kecuali dalam sistem kemasyarakatan dan saling membantu di
antara mereka dalam upaya memperoleh kebutuhan-kebutuhan pokok
(Mukaddimah:328).
Dalam
tradisi pondok modern, mewajibkan para santrinya untuk melalui fase pendidikan
karakter melalui media organisasi santri. Khususnya bagi santri senior,
diberikan amanah untuk menjadi pemimpin. Hal ini yang sangat berbeda dengan
karakter pendidikan yang tidak diperoleh dari sekolah umum.
Kemajuan
pondok pesantren adalah buah dari pemikiran atau ide-ide pimpinan pondok, guru-guru,
pengurus, serta pihak-pihak eksternal yang terkait. Lihatlah bangunan-bangunan
atau program yang selalu berkembang, demikian adalah gambaran dari ide-ide
pengurus tersebut dalam standar lembaga pendidikan. Selanjutnya, hal tersebut
menjadi sebuah bekal bagi para santri dalam keikutsertaan membangun sebuah
bangsa.
Mereka
(santri) dituntut untuk berimajinasi menata sebuah negara, membuat peraturan
perundang-undangan, memberikan sanksi dan bersikap bijak sebagai pemimpin.
Tentunya dalam koridor kepemimpinan yang memiliki teladan. Kesempatan emas
inilah yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin oleh santri untuk menjadi sosok
pemimpin idola mereka.
Dalam
hal ini Umar bin Khattab pernah berwasiat, “Belajarlah sebelum kalian menjadi
pemimpin.” Ima al-Bukhari mengomentari atsar ini, “Juga setelah kalian
menjadi pemimpin, sebab, para sahabat tetap belajar meskipun sudah berusia
lanjut.” Ibnu Hajar juga memberikan komentar, bahwa Abu Bakar mengatakan
demikian khawatir dipahami bahwa kepemimpinan itu menghalangi seseorang untuk
terus belajar. (Ensiklopedi Sahabat:187).
Menjadi
pemimpin, harus bersiap diri menjadi jiwa pembelajar. Belajar dari kepemimpinan
orang-orang yang benar. Jujur, adil, sederhana, mencintai rakyatnya, dan rakyat
pun akan mencintainya. Lihatlah Abu Bakar ash-Shiddiq, pemimpin yang rakyat pun
segan terhadapnya. Umar pun pernah mengatakan, “Lebih baik aku didahului lalu
leherku ditebas oleh seseorang daripada diharuskan memimpin suatu kaum yang di
antara mereka terdapat Abu Bakar.”
Abu
Bakar terkenal dengan sifat lemah lembut. Akan tetapi mempunyai ketegasan yang
tajam. Tatkala menjadi khalifah, ia dengan tegas memberangkatkan pasukan perang
muslimin yang dipimpin oleh seorang Usamah bin Zaid (berumur 18 tahun) untuk
berperag melawan romawi. Tidak sedikit sahabt memprotes keputusan tersebut.
Akan tetapi, karena ini adalah amanah Rasulullah Saw sebelum wafat, Abu Bakar
tetap berkomitmen.
Akhirnya
denga izin Allah Swt. pasukan yang dipimpin oleh Usamah bin Zaid memperoleh
kemenangan. Padahal, jika dilihat dari sisi sosial-politik di Madinah yang
masih kacau-balau tersebut, keputusan tersebut sangatlah berisiko besar bagi
keamanan masyarakat di Madinah.
Ali
bin Abi Thalib memberika komentar terhadap kepemimpinan Abu Bakar, “Engkau
telah membuat orang setelahmu lelah, selelah-lelahnya.” Ungkapan ini menurut
Ahli Sejarah, Ustadz Budi Ashari, Lc bermakna bahwa kepemimpinan Abu Bakar
sangatlah susah untuk ditiru khalifah setelahnya sehingga membuatnya lelah.
Demikian dalam berorganisasi, generasi pemimpin setelahnya mempunyai beban
berat, yakni mewujudkan kepemimpinan yang lebih baik dari sebelumnya.
Berbeda
dengan Abu Bakar, Umar bin Khattab mempunyai karater yang khas. Dengan
ketajaman ilmu yang dimiliki. Umar adalah sosok pemimpin yang memiliki perpaduan
antara ilmu dan amal, dibarengi dengan ketegasan dalam mengambil sebuah
keputusan hukum. Tatkala akan diangkat menjadi seorang khalifah, Abdurrahman
berkomentar atas perintah Abu Bakar, “Demi Allah, dia orang paling utama yang
pernah kulihat, hanya saja sifatnya keras.”
Abu
Bakar menanggapi, “Yang demikian itu karena dia melihatku terlalu lembut.
Apabila urusan kekhalifahan ini diserahkan kepadanya, niscaya sifat keras itu
akan luluh.” Dan benar saja, tatkla menjadi Khalifah ia berpidato di hadapan
rakyatnya.
“Ketahuilah
bahwa sifat keras itu telah melemah; memang masih ada, tetapi ia hanya
ditujukan kepada orang-orag zalim dan orang-orang yang menyakiti kaum muslimin.
Adapun mereka yang taat beragama dan bersahaja dalam kehidupan ini, sungguh aku
lebih bersikap lemah lembut terhadap mereka daripada kelembutan yang terjalin
di antara kalian.”
Dalam berorganisasi, tidak semua anggota bagian
dituntut untuk menjadi keras. Harus ada salah satu yang bersikap lembut. Hal
ini menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Seperti dua karakter
khusus yang dimiliki oleh Abu Bakar dan Umar. Selanjutnya, banyak karakter
pemimpin dalam Islam yang patut ditiru dan dipelajari kehidupannya. Karena
pemimpin yang baik pasti dicintai oleh rakyatnya.
“Sebaik-baik
pemimpin kalian adalah yang kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai
kalian. Mereka mendoakan kalian dan kalian pun mendoakan mereka. Sejelek-jelek
pemimpin kalian adalah yang kalia membenci mereka dan mereka pun membenci
kalian, juga kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.” Kemudian
ada yang berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah menentang mereka dengan pedang?
Rasulullah Saw bersabda, “Tidak, selama mereka masih mendirikan shalat di
tengah-tengah kalian. Jika kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang
kalian benci, maka bencilah amalannya dan janganlah melepas ketaatan
kepadanya.” (HR. Muslim no.1855).