Oleh : Ma’zumi
Sudah menjadi budaya masyarakat
Dunia yang merayakan tahun baru Masehi. Saya katakan sebagai manifestasi dari euforia
humanisme. Humanisme sendiri dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
mempunyai empat pengertian yaitu sebuah aliran yang bertujuan menghidupkan rasa
perikemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan hidup yang lebih baik, paham yang
menganggap manusia sebagai objek terpenting, aliran zaman Renaissance yang
menjadikan sastra klasik (dalam bahasa latin dan Yunani) sebagai dasar seluruh
peradaban manusia atau kemanusiaan.
Di kalangan Barat sendiri atau non
muslim tidak mempermasalahkan perayaan pergantian Tahun Baru Masehi karena
memang yang mereka inginkan adalah kebahagiaan yang bersifat Hedonisme yaitu
pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama
dalam hidup (KBBI). Yang menjadi polemik
sendiri adalah ketika kaum muslimin ikut serta merayakan tahun baru masehi,
karena dengan demikian akan menghilangnya ghirah pada agama.
Menghilangnya ghirah islam sendiri
tidak lain adalah sebuah dekadensi akhlaq yang lebih cenderung mengutamakan lifestyle
dan International minded yang diartikan oleh Prof. Dr. Hamka sebagai
pergaulan yang bertaraf internasional, pergaulan kebarat-baratan. sehingga
mengabaiakannya tasamuh konsep Islam yang lebih mengedepankan Syaja’ah
(berani menegakkan kebenaran), Wafa (setia atau loyalitas tinggi
terhadap agama) dan Karam (dermawan atau al-juud) serta Islam
mengajarkan bahwa dermawan dengan nyawa adalah puncak tujuan kedermawanan.
Sejarah tahun baru sendiri ternyata
bukanlah merupakan sesuatu yang baru, bahkan ternyata yang demikian itu adalah
budaya jahiliyah sebelum datangnya Islam. perayaan yang diantaranya adalah hari
raya Nairuz, dalam kitab Al Qomus. Nairuz adalah hari pertama dalam setahun,
dan itu adalah awal tahun matahari. Orang-orang Madinah dahulu pernah merayakan
sebelum datangnya Rasulullah SAW. Dan setelah diteliti ternyata itu adalah hari
raya terbesarnya orang Persia bangsa Majusi para penyembah Api.
Dikatakan dalam sebagian referensi
bahwa pencetus pertamanya adalah salah satu raja-raja mereka yaitu bernama
Jamsyad. Ketika Nabi datang ke Madinah beliau mendapati mereka bersenang-senang
merayakannya dengan berbagai permainan, Nabi berkata : “Apakah dua hari ini”.
Mereka menjawab, “ kami biasa bermain-main padanya di masa Jahiliyah,”.
Maka Rasulullah SAW bersabda, : “Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk
kalian dua hari itu dengan yang lebih baik dari keduanya yaitu hari raya Idul
Adha dan Idul Fitri”. (HR. Abu Dawud, dishaihkan oleh Asy-syaikh Al-Bani).
Dalam Hadits yang lain Rasulullah
SAW bersabda, “sungguh kalian akan benar-benar mengikuti kebiasaan
orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta,
sehingga sekiranya mereka masuk ke dalam lubang
biawak sekalipun kalian pasti mengikuti mereka. Kami bertanya, : “wahai
Rasulullah, apakah mereka itu kaum Yahudi Atau Nasrani” beliau menjawab :
“siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR. Muslim). Atau dalam Hadits lain
mengatakan bahwa barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia bagian dari
mereka.
Dari sini kita bisa menimbang sebuah
kebenaran berdasarkan sejarah tahun baru tersebut dan penjelasan dari Hadits
diatas bahwa yang demikian itu bukan berasal dari Islam. dan Islam sangat
menjauhi hal-hal yang bersumber bukan dari Islam itu sendiri tentunya dalam hal
amaliyah, karena hal tersebut lebih akan memicu pada sekulerisme kehidupan.
Sekulerisasi kehidupan mengakibatkan memisahkan agama dan kehidupan itu
sendiri, sehingga timbul anggapan dari mereka yang merayakan tahun baru Masehi
dengan alasan tidak ada kaitannya dengan agama.
Islam adalah Agama yang sangat
mengedepankan doktrin wahyu dan Assunnah sebagai rujukan pemikiran bagi
terlaksananya berkehidupan yang manusiawi, termasuk di dalamnya dalam hal
memaknai arti dari kebahagiaan dan kesenangan hidup. Kebahagiaan dan kesenangan
hidup dalam Islamic View (Perspektif Islam) tidak berada pada kesenangan
yang bersifat Hedonisme dan sekulerisme, akan tetapi lebih kepada kebahagiaan
yang bersandarkan akan ridho Allah SWT, hal ini yang diterangkan dalam Surat
Al-Lail ayat 20-21.
Artinya ketika kita melakukan suatu
hal yang dipandang baik dan bisa membuat kita senang maka kita harus
menyandarkan hal tersebut kepada Allah, apakah Allah ridho kita melakukan
demikian. Semisal dengan pertanyaan apakah Allah ridho kita merayakan tahun
baru Masehi yang di dalamnya terdapat banyak hal-hal yang tidak bermanfaat,
menghambur-hamburkan uang, membuang-buang waktu dan rawan terjadinya maksiat.
Padahal masih banyak hal-hal bermanfaat lainnya yang lebih bernilai seperti
dzikir malam, tahajjud, qabliyah shubuh dan shalat shubuh berjama’ah.
Sungguh sangat ironis ketika umat Islam merayakan tahun baru masehi
yang sudah tentu di dalamnya lebih banyak mudharat daripada manfaatnya. Tahun
baru Masehi dirayakan, tahun baru Hijriyah ditinggalkan. Shalat Tahajjud dan
shubuh diabaikan, tidur pagi dilegalkan. Masjid membisu, terompet Yahudi ramai
terdengar. Memang saat ini kita hidup dalam masyarakat yang hedonis dan sekuler,
sehingga sangat sulit menyadarkan akan hal-hal wajib dan sunnah bahkan halal
pun menjadi pilihan dan prioritas utama.
Di dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa
kesombongan adalah menolak kebenaran dan menghina manusia. apakah dengan adanya
hadits ini kita masih menolak penjelasan diatas? Apakah dengan mengikuti perayaan tahun baru
masehi kita termasuk orang yang menghina manusia (orang miskin), karena pada
hakikatnya harta yang kita miliki lebih baik jika diinfakkan kepada fakir miskin
dan anak yatim agar kita terhindar dari ancaman dalam Surat Al-Ma’un sebagai
pendusta agama (ayat 1-3).
Sumber : Islam Pos, buku “Ghirah, Cemburu karena Allah” Prof. Dr.
Hamka.