Oleh : Ma’zumi
Alumni PP. Al-Amien Madura dan mengajar di PPM.
Manahijussadat
Alkisah ada beberapa utusan dari kabilah
‘Udal dan Qarah datang kepada Rasulullah s.a.w. menyebutkan bahwa berita
tentang Islam telah sampai kepada mereka. Karena itu mereka sangat membutuhkan
orang-orang yang akan mengajarkan agama kepada mereka. Rasulullah s.a.w
kemudian mengutus beberapa orang dari sahabatnya, antara lain Murtsid bin Abi
Murtsid, Khalid Ibnu Bakir, Ashin bin Tsabit, Khhubaib bin Ady, zaid bin
Datsinah dan Abdullah bin Thariq. Rasulullah s.a.w menunjuk Ashim bin Tsabit
sebagai amir mereka.
Berangkatlah mereka sehingga ketika sampai di daerah
antara Usfan dan Makkah, disebutkan tentang suatu perkampungan dari suku
Hudzail yang dikenal dengan nama bani Lihyan. Sekitar seratus orang pemanah
dari suku ini kemudian mengikuti mereka sampai mereka turun di suatu rumah.
Di rumah ini mereka melihat biji-bijian kurma yang
dibuang disitu sehingga mereka berkata, “ini adalah kurma Yatsrib”. Orang –orang dari suku
Hudzail itu terus membuntuti dan mengejar mereka. Ketika Ashim dan para
sahabatnya mengetahui hal ini, mereka lalu berlindung ke sebuah bukit kecil di
padang pasir. Gerombolan itu terus mengejar dan mengepung mereka, kemudian
berkata, “kami berjanji tidak akan membunuh seorang diantara kalian jika
kalian turun kepada kami.
Ashim berkata, “saya tidak akan menerima perlindungan
orang kafir. Ya allah, sampaikan berita kami kepada Nabi-Mu”. Akhirnya
gerombolan itu menyerang mereka sehingga berhasil membunuh Ashim bersama tujuh
orang sahabatnya dengan anak panah. Tinggal Khubaib, zaid dan seorang lagi yang
menerima tawaran tersebut.
Akan tetapi setelah turun dari gerombolan itu, mereka
ditangkap dan diikat. Orang yang bersama Ashim dan zaid itu berkata, “ini
adalah pengkhianatan pertama.” Ia enggan mengikuti mereka lalu dibunuh oleh
gerombolan itu.
Mereka kemudian membawa khubaib dan Zaid sampai ahirnya
mereka menjualnya di Mekkah. Khubaib dibeli oleh Bani Al-Harits. Khubaib adalah
orang yang membunuh Al-Harits pada perang Badar. Khubaib kemudian tinggal di
Bani Harits sebagai tawanan sampai mereka sepakat untuk membunuhnya. Pada hari
itu, khubaib terlihat membawa pisau cukur yang dipinjamnya dari salah seorang
anak wanita Al-Harits.
Wanita itu berkata, “saya lupa kepada Anakku sehingga
ia merangkak mendatangi Khubaib, kemudian Khubaib mendudukinya di atas pahanya.
Ketika aku melihatnya, aku takut dan terkejut. Melihat aku ketakutan dan sambil
membawa pisau, Khubaib pun bertanya : “apakah kamu takut aku akan
membunuhnya? Insya Allah, aku tidak akan melakukan perbuatan itu.” Karena
itulah, wanita tersebut pernah berkomentar tentang khubaib, “Aku tidak
pernah melihat tawanan yang lebih baik dari Khubaib. Aku pernah melihatnya
makan buah anggur, sedang diikat dengan rantai besi. Anggur itu tidak lain
hanyalah rezeki dari Allah S.W.T.”
Bani Al-Harits kemudia menyeret Khubaib dari Al-Haram
untuk dieksekusi. Sebelum dieksekusi, Khubaib berkata, “bolehkah aku
melaksanakan shalat dua raka’at (terlebih dahulu)?”setelah melaksanakan
shalat Khubaib datang kepada mereka seraya berkata, “kalau bukan karena
khawatir kalian akan menyangka bahwa aku melakukan itu karena takut mati,
niscaya aku akan menambah shalat.”
Dengan demikian dia merupakan orang yang pertama kali mensunnahkan
shalat dua raka’at sebelum dibunuh. Selanjutnya khubaib Bersyair,
ولست أبالي حين أقتل مسلما على أيَ شقَ كان فى الله مصرعى وذلك غى ذات الاإله
وإن يسأ يبارك أو صا ل شلو ممزَع
“Aku tidak peduli asalkan aku dibunuh dalam Islam, atas
belahan manapun karena Allah Aku terbunuh. Jika itu sudah menjadi kehendak
Allah, Dia akan memberkati bagian-bagian tubuh yang dipotong-potong.”
Demikian adalah hakikat cinta yang seharusnya ada pada
jiwa seorang muslim, tiada takut mengenal kematian karena kematian adalah
sesuatu yang niscaya terjadi. Hakikat kehidupan seorang muslim bisa digambarkan
dari ungkapan, “’Isy Kariyman aw mut syahiydan”, hidup mulia atau mati
syahid. Tiada pilihan kecuali hidup dengan mulia membela agama dan mati syahid.
“Takut mati adalah mati sebelum mati” (Hamka).
Sumber : Sirah
Nabawiyah, Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buhty, 258-259 ; Darul Fikr, Lebanon, (1397 H / 1977). Tahun
terbit 27 April 1999
No comments:
Post a Comment