oleh: Ma'zumi Ibn Shabir
Alumni MTA th.2012.
Alumni MTA th.2012.
Manusia yang terlahir ke
dunia ini sejatinya adalah terlahir
tanpa memiliki ilmu “La Ta’lamuwna syay’an”. Akan tetapi Allah SWT menganugerahi
setiap hamba-Nya berupa indera yang dengannya
bisa mendapatkan ilmu tersebut. sebagaimana Allah berfirman, “dan
Allah mengeluarkanmu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar
kamu bersyukur. (Qs. An-Nahl : 78).
Nabi Adam As sebagai manusia pertama-pun diciptakan dalam
keadaan tidak mengetahui ilmu, hingga selanjutnya Allah mengajarkan kepada Adam
tentang nama-nama yang kemudian menyebutkannya di hadapan para malaikat.
Menariknya adalah jawaban para malaikat yang mengatakan bahwa ilmu yang
dimiliki tidak lain berasal dari Allah, “Maha Suci Engkau, tidak ada yang
kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami” (Qs.
Al-Baqarah : 32).
Dari petikan kisah pendek dalam ayat tersebut kita dapat
memahami bahwa ilmu yanng benar adalah berasal dari sumber yang Maha Benar
yaitu Allah SWT. Dan ini merupakan ciri khas dari tradisi keilmuan islam yang
mempertahankan keotentikannya dengan sanad dan sumber yang jelas. Termasuk di
dalam ilmu pendidikan, karena dengan ilmu pendidikan adalah sebagai sebuah
media yang mampu membangun manusia yang berperadaban.
Islam sudah menjadi agama yang sempurna dengan Alqur’an
sebagai penyempurna dari kitab-kitab sebelumnya dan dilengkapi dengan Assunnah
yang dibawa oleh Rasulullah Saw. dengan demikian, cukuplah Alquran dan Hadist
sebagai media subjektif yang mendidik kita agar menjadi manusia yang
berperadaban ilmu dan etika. Akan tetapi tidak menafikan peran akal sebagai sebuah
anugerah yang diberikan oleh Allah agar hamba-Nya berpikir.
Dari akal inilah yang
nantinya akan menimbulkan berbagai macam pemikiran, teori dan perbedaan
pendapat. Tidak menjadi masalah apabila terjadi perbedaan pendapat (teori)
antar ilmuan atau kalangan akademisi, akan tetapi apabila perbedaan pendapat
tersebut berlawanan dengan Alquran maka semestinya kita mengembalikannya kepada
Alquran dan Assunnah. Contohnya, dahulu ada yang berteori bahwa manusia berawal
dari monyet. Akan tetapi ini bertentangan dengan Alquran, karena manusia
diciptakan berasal dari tanah kemudian segumpal darah (Qs. Al-Mukminun : 14).
Hari ini kita kembali dibuat bingung oleh teori dalam ilmu
psikologi pendidikan yang tidak bolehnya mengatakan kalimat negatif berupa “jangan”
atau lebih dikenal dengan konsep “jangan katakan jangan”. Konsep ini
bertujuan agar tidak adanya kata-kata negatif dalam mendidik anak dan anak
tidak merasa tertekan ketika dididik oleh guru atau orang tuanya. Contohnya,
ketika orang tua ingin melarang anaknya dengan mengatakan “kamu Jangan
terlambat Yah...!” karena kalimat tersebut berbau negatif, maka harus
dirubah redaksinya menjadi, “kamu harus datang tepat jam 07 : 00”.
Contoh lainnya adalah ketika
seorang ibu mengatakan kepada anak “jangan berkata bohong” jika mengikuti teori tersebut maka redaksinya
harus dirubah, “kamu harus berkata jujur yah....!”. Sekilas memang tidak
ada kekeliruan di dalamnya, akan tetapi apabila kita mengkajinya dalam
perspektif Syar’i tentu di dalamnya sangat bertentangan dengan Alqur’an.
Di dalam Islam kita mengenal halal dan haram, baik dan
buruk, dosa dan pahala dan yang semisalnya. Artinya bahwa pendidikan yang
diajarkan di dalam Islam menekankan agar anak didik dibekali pengetahuan berupa
perintah dan larangan. Perintah yang berbentuk wajib untuk dikerjakan sedangkan
larangan yang berbentuk perintah untuk meninggalkan. Dalam artian bahwa untuk
mengenal dan membedakan perintah dan larangan.
Dengan konteks yang demikian dapat kita pahami bahwa
Seorang anak yang dididik dengan konsep “jangan katakan jangan...!”
mereka cenderung hanya memahami “perintah” dan tidak memahami “larangan”.
Akibatnya seorang anak tidak akan mengetahui hal-hal yang bersifat haram yang
harus dihindari.
Hari ini kita dibuat bingung dengan konsep pendidikan
yang seakan-akan hebat, akan tetapi justru malah menjerumuskan kepada distorsi
pendidikan moral. Ingatlah bahwa di
dalam Alqur’an terdapat sosok tokoh penting yang hebat dalam mendidik anak
yaitu Lukman. Kehebatan lukman dalam
mendidik anak sehingga diabadikan di dalam Al-Qur’an dengan ungkapan larangan
yang ia katakan kepada anaknya, “janganlah engkau menyekutukan Allah...!” (Qs. Luqman : 13)
Hingga ayat ke 19 dalam surat tersebut banyak menggunakan
kata larangan “jangan” sebanyak 4 kali. Kata “jangan” bukanlah sebuah kata yang
mempunyai arti negatif, akan tetapi lebih pada hal-hal yang bersifat preventif
agar anak mengetahui larangan yang harus dijauhi. Apalah jadinya jika kata
“jangan” itu dibuang oleh lukman, tentu yang terjadi adalah hal sebaliknya
yaitu menyekutukan Allah Swt.
Saking urgennya kata jangan, di dalam Alqur’an terdapat
lebih dari 500 kata yang berawal dari kata “La” yang mempunyai arti
“jangan”. Apabila kita menghilangkan kata “jangan” maka sudah 500 ayat lebih
yang kita hapus dari Alqur’an. karena
pendidikan di dalam Islam menghendaki secara tegas dalam bertindak, apabila
sesuatu itu memang bernilai negatif maka Islam dengan tegas menyatakan
“jangan”.
Ada teori lain yang mengatakan bahwa memukul anak tidak
diperbolehkan dalam mendidik, karena itu adalah bagian dari kekerasan di dalam
dunia pendidikan. akan tetapi Islam berkata lain, menganjurkan agar setiap
orang tua menggantungkan cambuk dan memukul anak yang melanggar, tentunya
dengan pukulan yang mendidik dan bukan pukulan yang menyiksa.
Syeikh
Muhammad Kutub beliau Seorang Ahli pendidikan Islam mengatakan bahwa “ilmu
yang paling besar dimasuki oleh konsep yahudi ada dua ilmu, yaitu ilmu
pendidikan dan Ilmu psikologi”. Oleh karena itu kita harus berhati-hati
dalam mendidik anak, jangan asal
menerapkan teori akan tetapi sesungguhnya teori itu hanya membuat kita
skeptis dalam mendidik anak. Memang Alquran menghendaki umat Islam agar
menggunakan akal untuk berpikir, akan tetapi ketika sebuah konsep atau teori
tersebut bertentangan dengan Alqur’an maka hal itu harus ditinggalkan.
No comments:
Post a Comment