Oleh A Fuadi, Novelis Negeri 5 Menara

Tim
redaksi Majalah Sabrina dan Pimpinan Pondok Drs. KH. Sulaiman Effendy M.Pd.I
sedang wawancara dengan Novelis Negeri 5 Menara, A Fuadi.
Kenapa Anda memilih Sastra?
Entah saya memilih atau dipilih,
karena Di pondok dahulu selalu diajarkan “Khoyrunnas Anfa’uhum Linnas”.
Saya berpikir bagaimana menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain. berbeda
dengan orang yang mempunyai banyak uang, punya pesantren, dan mengajar. Kebetulan
saya tidak mempunyai semua itu. Lantas saya berpikir tentang apa yang bisa
bermanfaat secara luas, saya harus hadir disana. Yaitu sastra, Dan ahirnya saya
berpikir bermanfaat bagi orang lain dengan menulis. Kebetulan di Pondok dahulu
saya sangat suka dengan menulis.
Setelah itu lalu saya berpikir, mau
nulis apa dan isinya apa? Saya mencari sesuatu yang paling berbekas pada diri
saya. Yang paling berbekas adalah ingatan ketika menjadi santri, (menulis
tentang kehidupan santri) sehingga terbitlah buku Negeri 5 Menara itu. Secara
sastra mungkin buku itu perlu diperdebatkan, akan tetapi entah karena itu
menulis dengan sepenuh hati. Ceritanya mengandung berkah pondok, ahirnya
menjadi tulisan yang Best Seller. Sampai di Gramdeia disebut sebagai
buku terlaris sepanjang masa. begitu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris,
buku itu menyebar lagi, sampai dipakai di sekolah di Amerika, Australi, dan
Singapur.
Jadi Proses kreatif Antum menulis
sejak kapan?
Saya berlatih menuils itu secara
tidak sadar sejak Tsanawiyah sebelum ke Gontor. Ibu saya seorang Guru SD yang
suka menulis tulisan Diary. Saya baru tahu bahwa kisah hidup itu bisa ditulis
di dalam buku. Saya mulai juga mempunyai buku harian. Dan itu berlanjut ketika
di Gontor kita diwajibkan membawa bukui harian. Setiap ada acara harus dibawa.
Lama-lama secara tidak sadar, latihan seperti itu membuat saya kuat untuk
mendeskripsikan sesuatu dengan menulis.
Tapi saya tidak mempunyai tema mau
menulis apa waktu itu. Karena ada proses Internal saya mengatakan, “saya
bermanfaatnya seperti apa yah?”. Waktu itu saya sudah pulang dari Amerika,
Inggris, hidup sudah nyaman dengan pekerjaan. Lantas dengan itu saya berpikir
bahwa kebermanfaatan hidup adalah dengan menulis. Mulaiah saya latihan menulis
Novel 5 Menara, dan itu terbantu juga dengan buku harian yang dulu saya tulis
ketika masih di Gontor.
Siapakah orang yang berpengaruh
Besar dalam Hidup Kang Fuad?
Tentunya orang tua, terutama ibu
yang “menjerumuskan” (memaksa) saya masuk Pesantren. Kalau tidak disuruh Ibu
mungkin tidak ada kehidupan saya seperti sekarang ini. kemudian yang kedua
adalah guru-guru di Pesantren yang Inspiratif sekali. Wali kelas saya, Para
Kiyai, dan teman-teman. Bagi saya semua itu seperti aliran listrik yang saling
menyentuh.
Bagaimana Tips menulis agar pembaca
itu tetap terikat dengan tulisan kita?
Mengikat pembaca menurut saya adalah
mengikat hati. Seperti tulisan laporan ilmiah dan riset, tulisan seperti itu
hanya mengikat kepala, tidak mengikat hati. Cobalah menulis dengan mengikat
hati, kalau bisa mengikat keduanya (hati dan kepala). Bagaimana mengikat hati?
Yaa harus menulis dengan hati, supaya yang tersentuh adalah hati. Tulisan
ayat-ayat suci itu menyentuh semuanya. Kita mungkin tidak bisa menulis seperi
ayat-ayat suci, tetapi memakai model seperti itulah.
Tujuan antum dari menulis seperti
apa?
Yaa itu tadi, bagaimana mengamalkan
apa yang saya pelajari di Pesantren. Mudah-mudahan tulisan ada manfaatnya.
Untuk mengenai tips menulis secara khusus mungkin saya mempunyai beberapa
langkah. Pertama adalah bertanya kepada diri sendiri “Why”. Kenapa saya
menulis. Niat menulisnya untuk apa? Yang kedua “What”, apayang ditulis? Maka
jawabannya adalah Tulislah apa yang kita suka dan membekas di hati.
Yang ketiga “How”, bagaimana menuliskannya? Menuliskannya dengan metode-metode
menulis yang baik. Dan bagian dari metode itu adalah riset, tidak hanya dari
kepala dan hati kita. Karena ingatan kita terbatas. lakukan wawancara dan
observasi. Saya ketika menulis Novel Negeri 5 Menara, wawancara lagi dengan
teman-teman di Gontor, membaca lagi buku harian.
Yang terahir “When”, kapan
nulisnya? Nulisnya harus dicicil pelan-pelan setiap hari. karena sedikit demi
sedikti lama-lama menjadi bukit. itu adalah proses yang bisa kita coba dalam
latihan menulis.
Apa harapan antum ke depan khususnya
dalam dunia tulis menulis, harapan pribadi dan secara umum?
Harapan saya adalah secara pribadi,
dengan tulisan ini adalah jalan saya untuk kebermanfaatan orang lain. dan saya
harap, orang muslim atau santri itu tidak hanya fokus pada Iqra’ tapi
juga harus Uktub, kadang-kadang itu tidak balance (tidak imbang). Iqra’
memang bagus, tapi Kadang-kadang
kita lupa Uktubnya.
Menulis itukan memproduksi, yang diproduksi itu bukan makanan fisik
karena masuk ke dalam fikiran. Kalau kita menulis dan tulisan kita dibaca
orang, maka kita akan menguasai pikiran orang. Kalau ingin berdakwah melalui
pikiran, salah satunya adalah menulis. Kalau ngomong akan dilupakan orang,
kalau menulis maka kita akan berumur panjang. Contohnya kitab Bidayatul
Mujtahid, itu kan ditulis oleh Ibnu Rusyd 800 tahun yang lalu,di gontor masih
dipakai. Itulah tulisan, yang secara fisik kita melihat masih ada sedangkan
orangnya sudah tiada.
Saya secara pribadi ingin memotivasi
para santri di dunia Pesantren untuk menulis, karena umur kita terbatas,
sedangkan umur tulisan tidak ada batasnya.
No comments:
Post a Comment