Oleh: Ma’zumi,
Ketika Nabi SAW melihat semakin
gemparnya penyiksaan terhadap kaum muslimin, sementara beliau sendiri tidak
dapat memberikan perlindungan kepada kaum muslimin. Beliau berkata kepada
mereka, “Alangkah baiknya jika kamu dapat berhijrah ke Negeri Habasyah karena
di sana terdapat seorang raja yang adil sekali. Di bawah kekuasaannya, tidak
seorang pun boleh dianiaya. Karena itu, pergilah kamu kesana sampai Allah
memberikan jalan keluar kepada kita, karena negeri itu adalah negeri yang cocok
bagi kamu”.
Setelah beberapa waktu tinggal di
Habasyah, sampailah kepada mereka berita tentang masuk islamnya penduduk
Makkah. Mendengar berita ini, mereka segera kembali ke Makkah. Hingga ketika
sudah hampir masuk ke kota Makkah, mereka baru mengetahui bahwa berita tersebut
tidak benar. Karena itu, tidak seorang pun dari mereka yang masuk Makkah
kecuali dengan perlindungan dari salah satu tokoh Quraisy.
Sementara itu, Hijrah Rasulullah SAW
ke Tha’if tidak mendapatkan sambutan yang baik. Beliau berbicara tentang Islam
dan mengajak mereka supaya beriman kepada Allah SWT. Ajakan beliau ditolak
mentah-mentah dan dijawab secara kasar. Mereka mengerahkan kaum penjahat dan
para budak untuk mencerca dan melemparinya dengan batu, sehingga mengakibatkan
cedera pada kedua kaki Rasulullah SAW.
Sebenarnya masih banyak tempat yang
dituju oleh Rasulullah SAW dalam berhijrah, akan tetapi secara umum sejarah
menuliskannya secara jelas dari ketiga kota tersebut. Dari ketiga tempat
tersebut, yaitu Hijrah ke Habasyah, Thaif dan Madinah. Masing-masing dari
tempat hijrah tersebut memiliki karakteristik tersendiri sebagai sebuah proses
internalisasi terhadap Diynul Islam.
Yatsrib yang dituju oleh Nabi SAW
kemudian menjadi Madinah. Merupakan sebuah momentum besar dalam perjalanan
dakwah Islam dari misinya sebagai Rahmatan Lil ‘Alamiyn. Pada saat itu
sebagai kota yang tertinggal, baik secara tingkat individual maupun sosial
masyarakatnya. Disulap menjadi kota berperadaban, bahkan menjadi peradaban
islam pertama.
Madinah menjadi tatanan masyarakat
baru yang moderat pada zamannya. Dengan Islam sebagai landasan utama dalam
membangun negara Tauhid yang berdaulat kepada Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT. Dan
beliau SAW sebagai pimpinan pendiri yang pertama. Oleh karena itu, Rasulullah
SAW menentukan asas-asas sebuah negara.
Asas-asas itu adalah membangun
masjid. Mempersaudarakan sesama muslim secara umum dan antara kaum muhajirin,
serta kaum anshar secara khusus. Ketiga, membuat perjanjian (dustur) yang
mengatur kehidupan sesama kaum muslimin dan menjelaskan hubungan mereka dengan
orang-orang di luar Islam secara umum dan dengan kaum Yahudi secara khusus.
Ketiga asas tersebut tentu sangat
urgen dalam membangun kehidupan individual dan sosial masyarakat. Masjid yang
pertama dibangun sangat berperan penting dalam meningkatkan sumber daya manusia
yang produktif. Dari masjid itulah Rasulullah SAW membimbing para sahabat dan
umat islam tentang asas-asas ibadah Mahdah
dan Ghayru Mahdah. Hal ini yang akan melahirkan kesalehan individual dan
kesalehan sosial.
Ini juga sekaligus mengajarkan
kepada kita tentang perbedaan cara nabi dalam membimbing umat dengan pemimpin
sekarang. Hari ini kita melihat pemimpin yang katanya hendak meningkatkan
sumber daya manusia, akan tetapi mayoritas memulainya dari pembangunan lahan bisnis dan infrastruktur.
Tidak heran jika kita melihat geliat masyarakat yang bersifat hedonis.
Kedua, mempersaudarakan sesama
muslim. Merupakan langkah urgen yang dipilih oleh Rasulullah SAW dalam
menyatukan kaum muslimin yang berbeda pemikiran dengan latar belakang budaya
masing-masing. Khususnya pada kaum Muhajirin dan Kaum Anshar.
Penyatuan kaum muhajirin dan anshar
menjadi sebuah kekuatan besar dalam membangun sebuah negara Islam. Kaum
Muhajirin yang berlatar belakang sebagai niagawan dan kaum Anshar yang
mayoritas petani, menjadikan keduanya bekerja sama dalam bidang perekonomian
madinah. Sehingga Madinah menjadi sebuah kota yang maju. Baik secara kesalehan
masyarakat maupun Sumber Daya Manusia yang produktif dalam bidang ekonomi.
Ketiga, perjanjian yang
mengatur baik sesama kaum muslimin dan
orang-orang kafir Madinah, khususnya dengan kaum Yahudi. Merupakan sebuah
implementasi dalam membentuk tatanan masyarakat baru yang saling menghormati
antar ras, suku dan agama yang berbeda. Khususnya dalam hal toleransi beragama.
Setidaknya solusi inilah yang
dibutuhkan oleh bangsa dalam membangun sebuah peradaban. Masyarakat Indonesia
yang terdiri dari berbagai ras, suku dan agama yang berbeda disatukan oleh
semboyan Bhinneka Tunggal Ika dan pancasila sebagai ideologi bangsa.
sebenarnya ini adalah inspirasi dari Nabi SAW yang mendirikan kota Madinah
dengan tiga asas tersebut, disertai
dengan piagam madinah yang menjadi ideologi bersama.
Namun untuk saat ini, nilai-nilai
tersebut tidak terealisasikan dengan baik. Mengingat masyarakat terlalu mudah
diadu domba dari satu golongan ke golongan lain. Perlu adanya gerakan sosial
untuk saling menyatukan, bukan sekedar memperkeruhkan suasana. Hikmah Hijrah
yang diajarkan oleh Nabi SAW menjadi solusi terbaik sepanjang masa kehidupan
manusia.
Di dalamnya sudah memuat bagaimana
perjuangan dakwah secara tersembunyi dan terang-terangan. Dari penyiksaan,
hijrah, hingga berujung pada pembangunan sebuah peradaban emas. Hal ini menjadi
pelajaran buat kita, bahwa dalam sejarahnya Islam telah mampu memanusiakan
manusia. Memerdekakan manusia dari penjajahan fisik dan pemikiran.
Internalisasi dari makna hijrah
tersebut adalah ketika kita mampu mengimplementasikan nilai-nilai perjuangan
Nabi SAW dalam kehidupan sehari-hari. berawal dari gerakan spiritual menuju
gerakan penanaman jiwa kebangsaan dan keberagamaan tanpa adanya dikotomi.
Inilah sebuah nilai yang menyatukan dan membangun kemanusiaan yang sejati di
bawah landasan Nusa, Bangsa dan Agama.
sumber: Shirah Nabaiwyah, Said Ramadhan Al-Bhuty
No comments:
Post a Comment