Alumni MTA Al-Amien Prenduan, 2012.
Manusia sebagai makhluk Allah Swt yang mulia, tentu
diberikan keistimewaan yang lebih dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya.
Keistimewaan tersebut terkandung dalam penciptaannya dengan bentuk dan rupa
yang sempurna. Ditambah dengan akal yang berfungsi membedakannya dengan hewan.
Dalam kajian filsafat, akal menempati urutan pertama yang dikaji dan sebagai sumber
panduan menjalani kehidupan. Imam Ibnul Jauzi mengatakan, “Dengan akal, manusia
dapat mengatasi berbagai kesulitan, menegaskan jati dirinya sebagai makhluk
yang lebih mulia dibanding binatan. Dengan akal itu pula ia dapat membuat kapal
yang dapat mengantarkannya ke seberang lautan luas, mampu menaklukkan gelombang.”
Al-Hasan berkata, “Agama seseorang tidak akan bisa sempurna
sampai akalnya menjadi sempurna. Allah tiada menitipkan akal kepada seseorang,
melainkan agar suatu saat nanti bisa digunakan untuk menyelamatkan dirinya.”
Atha’ bin Abu Rabah pernah ditanya, “Apa yang paling utama yang diberikan
kepada manusia?” Ia menjawab, “Akal yang berasal dari Allah.” (Jauzi, 2014:
17).
Buya Hamka mengatakan, “Sebelum Islam mengajak pemeluknya
mencapai segala keperluan yang berhubungan dengan dunia, lebih dahulu diajak
mempergunakan segenap upaya bagi membersihkan akal; dalam paham, jitu pikiran
dan jauh pandangan. Agama Islam amat menghormati akal. Karena tidak akan
tercapai ilmu kalau tidak ada akal. Sebab itu, Islam adalah agama ilmu dan
akal.” Akan tetapi akankah akal
mampu berjalan sendiri tanpa adanya panduan?
Nabi Muhammad Saw. tatkala sebelum diangkat menjadi nabi
dan rasul, ia dihinggapi dengan kegelisahan kaum kafir Quraisy yang semakin
bertambah kejahiliyahannya. Hingga sampai pada tahap mengotori rumah suci Allah
Swt. dengan berbagai macam berhala di sekelilingnya, hingga berjumlah 360
berhala.
Kegelisahan ini membawanya untuk menjauh dari gemerlap
kota Mekkah yang diliputi dengan berbagai macam penyimpangan tersebut. Gua Hira
menjadi pilihannya. Merenung dan berzikir, tentang pencarian hakikat dan solusi
dari apa yang sedang dihadapi. Hingga turunlah lima ayat pertama dalam Surat
al- ‘Alaq, dengan perintah pertama diawali dengan kata Iqra’ (Bacalah!).
Hemat penulis, kegelisahan Rasulullah Saw. tersebut
dijawab oleh Allah Swt. dengan menurunkan al-Qur’an sebagai panduan hidup.
Tentunya al-Qur’an saat ini sudah berbentuk kitab yang tersusun rapi urutan
surat dan ayatnya. Sudah lengkap menjadi panduan hidup bagi manusia hingga
akhir zaman.
Ibarat seseorang yang hendak melakukan perjalanan jauh,
tentulah orang tersebut membutuhkan peta/petunjuk arah agar perjalanannya tidak
salah arah atau tersesat. Atau perumpamaan lain, seseorang yang hendak
menjalankan mesin (Mobil, motor dsb) membutuhkan buku panduan.
Perkembangan teknologi yang semakin melesat, menuntut
sebuah gerakan pemikiran untuk mengimbangi dampak negatif yang ditimbulkan. Jika
tidak, maka kebergantungan manusia terhadapnya akan menjadi penyakit umat yang
sulit untuk diatasi. Dalam hal ini adalah Gadget/Smartphone yang berhasil
mengalihkan dari hal-hal yang bermanfaat.
Gadget sudah menjadi gaya hidup. Kehadirannya bukan lagi
sekedar alat komunikasi, tetapi sudah menjadi panduan dalam menjalankan
sebagian aktifitas kehidupan. Dampak negatif yang sangat serius adalah ketika
benda kecil ini telah mengalihkan penggunanya dari “Sumber ilmu pengetahuan”
yaitu buku.
Ketika manusia terjauhkan dari buku, secara otomatis ia
menjadi pribadi yang miskin intelektual.
Generasi yang terjangkit penyakit model ini, sangat sulit untuk
disembuhkan. Terlebih jika sudah merasuk ke dalam dunia pendidikan. Contoh
kecil, seorang santri yang dijenguk oleh kedua orang tuanya, tatkala diberikan
gadget oleh orang tuanya, maka hilanglah kehangatan keluarga. Ia lebih memilih
mencari perhatian di dunia maya, dibanding perhatian orang tuanya.
Kasus tersebut menjadi PR besar bagi para orang tua. Ia
harus mampu bersaing dengan benada mati yang menurut anaknya lebih menarik.
Bagaimana jika virus ini menjangkit para pendidik? sekali lagi, generasi tanpa
buku akan melahirkan tunas yang miskin intelektual.
Seseorang tidak mungkin bisa menyampaikan ilmu tanpa
sumber (buku). Pendapat akal seharusnya menjadi interpretasi dari proses
membaca. Bukan sebaliknya. memang, di dalam Gadget bisa dimanfaatkan untuk
membaca berbagai macam literature dengan mendownload bermacam-macam e-book
dengan gratis. Akan tetapi, perlu kiranya kita berpikir kritis, semudah itukah
memahami suatu ilmu?
Al-Ustaz Samson Rahman M.A (penerjemah buku La
Tahzan/Jangan Bersedih!) pernah mengatakan dalam salah satu akun sosialnya, “Seseorang
bisa saja membeli banyak buku, tetapi tidak semua orang bisa membeli
pemahaman.” Karena, untuk memperoleh pemahaman dibutuhkan seorang guru dengan
ketajaman analisis terhadap suatu ilmu.
Untuk itu, guru berperan penting dalam memberikan
pemahaman dari pesan-pesan yang tersirat dari sebuah buku tersebut. Memberikan
pemahaman berdasarkan ilmu. Inilah tradisi ilmu yang perlahan mulai menghilang;
menyampaikan ilmu berdasarkan sumber (buku) yang dapat dipercaya.
Guru dan buku adalah dua sisi yang tidak boleh
dipisahkan. Ibarat kedua sisi mata uang, jika salah satunya hilang maka sudah
menjadi barang yang tidak lagi bernilai. Sedangkan generasi tanpa buku, seperti
kelompok kaum yang sedang dalam perjalanan. Tiada panduan, maka akan tersesat.
No comments:
Post a Comment