Oleh: Ma'zum H.S
Artikel ini bukan bertujuam untuk menyudutkan siapapun, profesi atau mencederai kultur dalam dunia pendidikan. Hanya analisis bebas yang tentunya dengan keterbatasan pemahaman saya tentang "Drama/akting" sebagai media dakwah dalam dunia pendidikan.
Langsung saja. Dalam dunia pendidikan, baik sekolah formal maupun pesantren. Tidak jarang kita temui "Drama/akting" dijdikan sebagai media Dakwah. Yang pro terhadap hal ini tentu lebih memandang sisi positifnya. Namun yang perlu digaris bawahi adalah "Apakah ia mampu berperan dalam kehidupannya sesuai dengan tokoh yang ia perankan dalam Drama?"
Anak didik yang berhasil memerankan tokoh tertentu dalam pentas drama. Tentu mereka akan mendapatkan apresiasi. Kurang lebih Sang Guru akan mengatakan, "Aktingmu sangat bagus nak!" Hal ini boleh bermakna, "Kamu sangat menjiwai dalam memerankan seorang tokoh."
Sekilas dalam hal tersebut tidak ada masalah. Akan tetapi, jika kita ingin mencari hikmah dari realita, tentu berbalik 180 derajat. Karena semua itu hanya akting. Yang hanya bisa didapat ketika di atas pentas atau dibalik layar televisi.
Sering saya melihat film yang bergenre Islami. Di dalamnya menayangkan adegan-adegan suami-istri. Berpegangan tangan, maaf (berciuman), bahkan hingga adegan membuka aurat/kerudung. Sejatinya kita mengetahui bahwa mereka bukanlah mahram. Dan sekali lagi, mereka itu hanya akting demi menaikkan _rating_ produksi filmnya.
Ini nyata, meskipun saya melihatnya hanya dengan satu kasus. Seorang santri yang berprestasi dalam bidang akting. Tatkala ditanya oleh salah seorang Ustaz, kenapa tanganmu berdarah. Dia menjawab, "Jatuh dari lapangan Basket". Ternyata, ia berbohong. Luka di tangan tersebut akibat kabur dari pondok, bermain motor lalu kecelakaan. Pintar sekali aktingnya. Bukan hanya itu, tak jarang saya temui izin keluar dari pondok dengan alasan yang berbohong.
Dari fakta tersebut, saya menerjemahkan perkataan guru yang berbunyi, "Aktingmu sangan bagus nak!". Bermakna, "Bagus sekali caramu berbohong". Tingkatkan lagi prestasimu dalam berbohong. Hal ini bukan saya fokuskan dalam dunia pendidikan. Tetapi dalam dunia akting para artis. Karena pedoman kehidupan mereka bukan Nabi Saw. Tetapi artis. Hal ini terbukti tatkala mereka lebih menghormati artis daripada Ulama/mengenal sejarah Nabi-nabi.
Teringat perkataan Ahli Sejarah, Ustaz Budi Ashari L.c, "Salah satu ciri masyarakat yang rusak adalah ketika artis/hiburan lebih disukai daripada ilmu dan ahli ilmu". Ungkapan ini adalah sari hikmah dari Ulama yang pernah membangkitkan Islam di Andalusia.
Friday, December 29, 2017
Tuesday, December 26, 2017
Nikmat Mana Yang Sudah Kau Syukuri
Oleh: Ma'zumi H.S
Sudah menjadi rutinitas dalam lembaga pendidikan, mengadakan ujian sebagai tolak ukur keberhasilan siswa dalam proses belajar. Termasuk di Lembaga Pendidikan Pesantren yang lebih menekankan kurikulum pada hafalan dan kajian literatur agama. Saat ini, tengah berlangsung Ujian Akhis Semester I (UAS).
Namun, yang membedakan lembaga pendidikan pesantren (baca:pesantren modern) dengan sekolah umum adalah penguasaan bahasa asing sebagai bahasa pengantar atau percakapan sehari-hari. Termasuk proses ujian, dibagi menjadi dua: Ujian lisan dan tulis.
Singkat cerita, seorang guru/Ustaz menguji materi Fiqh yang di dalamnya terdapat materi tajwid, qiro'atul Qur'an, Qiro'atul kutub, doa-doa harian, serta amaliyah/praktek Ibadah. Beberapa santri dari kelompok lain sudah selesai diuji. Tinggal satu orang santriwati yang terakhir diuji.
Ustaz: "Apa yang dimaksud dengan fiqh secara bahasa/istilah".
Santriwati: "Fiqh adalah harta tertentu yang dikeluarkan dlm waktu tertentu, untuk kelompk trntntu"
Mendengar jawaban santriwati tersebut, Sang Ustaz kaget. Sebab, pertanyaan mudah sebagai pembuka tidak mampu ia jawab. Dalam hati berpikir, mungkin dia gugup sehingga tidak sanggup menjawab pertanyaan dengan baik.
Akan tetapi, setelah beranjak pada beberapa pertanyaan berikutnya. Santriwati tersebut tidak mampu menjawab. Jika ia menjawab, itupun hanya pertanyaan-pertanyaan mudah dan tidak dijawab sempurna. Akhirnya Sang Ustaz bertanya dengan pertanyaan yang paling mudah.
Ustaz: "Coba bacakan doa makan!".
Santriwati: "Maaf Ustaz, tidak bisa." Jawabnya dengan nada sedikit berat.
Bukan hanya itu, penguji memberikan pertanyaan dengan hafalan surat-surat pendek. Akan tetapi, jawabannya tetaplah demikian. Akhirnya penguji bertanya, untuk mengetes kendala apa yang sebenarnya ada pada santriwati tersebut.
Ustaz/Penguji: "Umur kamu berapa tahun?"
Santriwati: "16 Tahun Ustaz." Jawabnya dengan sedikit gemetar.
Penguji: "Umurmu yang sekian seharusnya lebih mudah untuk menghafal, apa kendalamu dalam mengfahal?". Tegur Sang Ustaz penasaran.
Santriwati: "Maaf Ustaz, saya memiliki penyakit mata dan fisik yang cenderung lemah. Jika dipaksakan begadang malam, maka tidak kuat untuk belajar. Bisa jadi akan membuat sakit. Beberapa hari yang lalu saya dioperasi. Tatkala operasi, ada cairan dari dalam mata yang disedot. Saya tidak tau itu cairan apa, dan juga tidak mengetahui penyakit apa sebenarnya yang menimpaku. Tatkala bertanya kepada dokter dan keluarga, mereka tidak menjawab. Yang saya alami, tatkala belajar terlalu serius. Mata ini tidak bisa diajak kompromi, sakit mata ini menjalar ke saraf2 otak."
Kemudian sang Ustaz tersebut menyimpulkan bahwa bisa jadi, kelemahannya dalam menghafal dan memahami ilmu susah dikarenakan sakit yang dideritanya. Padahal, ia adalah termasuk anak yang rajin belajar. Sungguh, cerita tersebut menjadi pelajaran bagi kita yang memiliki fisik sehat, akan tetapi menikmati zona nyaman tanpa melakukan hal2 besar.
Wednesday, December 20, 2017
Puisi untuk Ibu
Love Mama and Papa
Dahulu..
Anakmu nakal dan manja
Dahulu...
Anakmu tidak bisa bersikap dewasa...
Dahulu...
Anakmu sering membuatmu menangis sedih..
Karena tingkah kebodohannya...
Karena kekerdilan sikapnya...
Karena kenakalan yang yang tak berdasar dan tak masuk akal...
Shalat...
Itulah yang tak henti kau ajarkan..
Akhlak..
Itulah yang selalu kau ingatkan untuk mendidik...
Shalawat...
Itulah yang selalu kau ingatkan dalam setiap langkah...
Qura...
Itulah pendidikan yang selalu kau ajarkan...
Kini..
Anakmu telah beranjak dewasa..
Mencoba menyelami pengabdian untuk umat..
Mencoba mendidik generasi mujahid...
Tidak lain..
Karena usahamu yang dulu pernah diberikan...
Tanpa mengenal lelah..
Tanpa mengenal keluh dan kesah...
Dan tak pernah terhitung berapa air mata yang terjatuh...
Demi anakmu ini...
Yang nakal dan kerdil ini...
Namun..
Hingga saat ini..
Anakmu belum menjadi yang terbaik..
Bahkan masih durhaka karena selalu melanggar perintahmu...
Belum bisa membalas semua kasih dan sayangmu...
Hanya sebuah doa yang bisa selalu ku panjatkan...
Semoga...
Di usiamu yang semakin senja ini...
Allah meridhai segala amalmu..
Dari anakmu tercinta..
Ma'zumi H.S
Dahulu..
Anakmu nakal dan manja
Dahulu...
Anakmu tidak bisa bersikap dewasa...
Dahulu...
Anakmu sering membuatmu menangis sedih..
Karena tingkah kebodohannya...
Karena kekerdilan sikapnya...
Karena kenakalan yang yang tak berdasar dan tak masuk akal...
Shalat...
Itulah yang tak henti kau ajarkan..
Akhlak..
Itulah yang selalu kau ingatkan untuk mendidik...
Shalawat...
Itulah yang selalu kau ingatkan dalam setiap langkah...
Qura...
Itulah pendidikan yang selalu kau ajarkan...
Kini..
Anakmu telah beranjak dewasa..
Mencoba menyelami pengabdian untuk umat..
Mencoba mendidik generasi mujahid...
Tidak lain..
Karena usahamu yang dulu pernah diberikan...
Tanpa mengenal lelah..
Tanpa mengenal keluh dan kesah...
Dan tak pernah terhitung berapa air mata yang terjatuh...
Demi anakmu ini...
Yang nakal dan kerdil ini...
Namun..
Hingga saat ini..
Anakmu belum menjadi yang terbaik..
Bahkan masih durhaka karena selalu melanggar perintahmu...
Belum bisa membalas semua kasih dan sayangmu...
Hanya sebuah doa yang bisa selalu ku panjatkan...
Semoga...
Di usiamu yang semakin senja ini...
Allah meridhai segala amalmu..
Dari anakmu tercinta..
Ma'zumi H.S
Sunday, October 15, 2017
Manusia Kanibal Dan Kepribadian Kurma

Oleh: Ma’zumi
Kualitas seseorang bisa dilihat dari
bagaimana caranya berbicara, makan, minum, bergaul, berpikir, berdisiplin; baik
dalam ibadah atau hal-hal lainnya, hingga urusan masuk ke kamar mandi sudah ditentukan
adab-adabnya dalam syariat Islam. Sungguh indah apa yang telah diperintahakn
oleh Allah dan rasul-Nya dalam hal apapun. Karena semua syariat bersifat
universal, tanpa memandang umur dan kultur budaya suatu daerah.
Ada beberapa hal yang mencederai
kepribadian kita yang berpredikat sebagai
seorang mukmin. Pertama, kepribadian dalam berucap atau bertutur
kata. Kedua, loyalitas kita terhadap al-Qur’an. Sering kita berucap dan
bertutur kata yang tidak baik, bahkan berkata jorok sekalipun sudah menjadi
budaya yang apatis terhadap nilai-nilai kepribadian yang hakiki.
Tentunya hal tersebut sudah
dipengaruhi dari nontonan sehari-hari, atau lingkungan yang tercemari dari
perilaku orang-orang yang tidak terdidik. Yang tidak masuk akal adalah ketika
pelanggaran tersebut dilakukan oleh kaum akademisi yang notabene mengerti akan
nilai-nilai dari keagunan sebuah cara bertutur kata.
Tatkala lisan tidak dapat dijaga
sesuai dengan fungsinya, maka ia akan lepas kendali dengan mengatakan hal-hal
yang haram. Contoh kecil adalah ghibah. Termasuk dosa-dosa yang dianggap biasa.
Justru lebih mudah dilakukan mengingat media sosial yang ada di genggaman
tangan disalah-gunakan. Lima detik kemudian seluruh orang bisa mengetahui aib
dari apa yang diinformasikan. Lantas apa kaitannya dengan kanibal?
Kata “Kanibal” dalam perbendaharaan
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI offline) setidaknya mengandung tiga arti;
orang yang suka memakan daging manusia (pemakan daging sejenis), binatang yang
suka membunuh dan suka memakan daging binatang yang sejenis, dan ternak yang
suka menggigit dan mematuk temannya hingga terluka. Sedangkan penganibalan
memiliki arti proses, cara, perbuatan memakan daging dari makhluk yang sejenis.
“Janganlah kamu mencari-cari
kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang
lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudanya yang telah
mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Qs. Hujurat:
12).
Pelaku ghibah layaknya seorang
kanibal. Ia rela memakan daging saudaranya sendiri dan tidak merasa jijik
terhadapnya. Menggunjing dengan tujuan menjatuhkan, membunuh karakter teman
yang sedang berpikir maju, hingga ia senang jika temannya benar-benar jatuh dan
mati prestasinya. Sungguh manusia jenis kanibal ini sangat berbahaya bagi
lingkungan sekitar.
Selanjutnya yang perlu dijauhi
adalah agar kita tidak menjadi seorang mukmin yang berkepribadian kurma. Ia
yang rasanya manis, tetapi tidak memiliki aroma yang harum. Ia yang enggan
menyempatkan sekejap waktunya untuk berkhalwat bersama al-Qur’an. Yakni mereka
yang lupa bahwasanya kebahagiaan itu ada
dan terdapat ketika kiata hidup bersama al-Qur’an.
وَعَنْ أَبِيْ مُوْسَى الْأَشْعَرِيْ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ {مَثَلُ
الْمُؤْمٍنٍ الَّذِيْ يَقْرَأُ الْقُرْآن مِثْلُ الْأُتْرُجَةِ, رِيْحُهَا طَيِّبْ وَطَعْمُهَا طَيِّبٌ.
وَمَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِيْ لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ التَّمْرَةِ, لَا
رِيْحَا لَهَا وَطَعْمُهَاحُلْوٌ.
وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِيْ يَقْرَأُ لْقُرْآنَ كَمَثَلِ
الرَّيْحَانَةِ, رِيْحُهَا طَيِّبْ وَطَعْمُهَا مُرٌّ, وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ
الَّذِيْ لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الْحَنْظَلَةِ, لَيْسَ لَهَا رِيْحٌ
وَطَعْمُهَا مُرٌّ}. رواه البخاري ومسلم.
Diriwayatkan dari Abu
Musa Al-Asy’ari r.a, ia berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Perumpamaan
seorang mukmin yang membaca Al-Qur’an seperti buah utrujah, aromanya sedap dan
rasanya lezat; perumpamaan seorang mukmin yang tidak membaca Al-Qur’an seperti
buah kurma, tiada baunya tetapi rasanya manis; perumpamaan seorang munafik yang
membaca Al-Qur’an seperti raihanah, aromanya sedap tetapi rasanya pahit;
sedangkan perumpamaan seorang munafik yang membaca Al-Qur’an seperti hanzhalah,
tidak berbau dan rasanya pahit.” (HR.Bukhari dan Muslim).
Lantas bagaimana kepribadian mukmin
yang sesungguhnya? Rasulullah Saw. bersabda, “Perumpamaan orang beriman itu
bagaikan lebah. Ia makan yang bersih, mengeuarkan sesuatu yang bersih, hinggap
di tempat yang bersih dan tidak merusak atau mematahkan (yang dihinggapinya).”
(HR. Ahmad, Al-Hakim, dan Al-Bazzar).
Marilah berpikir sejenak tentang apa
yang sudah kita perbuat, baik dalam gerak langkah atau ucapan lisan yang keluar
sehari-hari, sudahkah sesuai dengan kepribadian lebah? renungkan hingga dari
hati yang terdalam, apabila kita sering mengungkapkan sesuatu yang “kotor” maka
apa bedanya lisan kita dengan “Tempat sampah? Wallahu A’lam. Semoga kita
diberikan petunjuk oleh Allah Swt.

Subscribe to:
Posts (Atom)
Tugas Mapel Al-Qur'an dan Hadits Kelas XI A dan B MA Misbahunnur
Clue: *Untuk Dapat Menjawab Pertanyaan Materi Al-Qur'an dan Hadits maka ada syarat dan ketentuan yang harus dikerjakan. *Syaratanya a...
-
Kisah fiktif santri, kritik sosial. Emon dan Unes suatu ketika mengadu permasalahan hidup. Dua santri cerdik dan cerdas ini ternyata me...
-
Oleh : Ma’zumi Di tengah kesibukan dunia pendidikan, terkadang kita lalai dari muhasabah diri yang seharusnya menjadi eva...