Oleh:
Ma’zumi
Beberapa hari yang lalu seluruh
masyarakat Indonesia merayakan eurforia kemerdekaan tuju puluh tiga tahun. Even
tahunan ini, jika ingin dikritisi secara matang masih cenderung mengurusi hal
yang “Remeh-temeh.” Beragam jenis
perlombaan yang kurang bernilai akademis. Akibatnya, nilai-nilai patriotisme
yang ditanamkan para leluhur bangsa, sekejap hilang bersama teriak-tawa.
Tulisan ini hanya ingin mengajak merenung. Seandainya mereka
masih hidup, ridhokah mereka melihat gelak-tawa memeriahkan euforia tersebut? Sedangkan
mereka rela memperjuangkan
tanah air dengan kobaran api semangat, lautan
keringat yang dibanjiri darah mulia para syuhada.
Penulis pernah membaca pendapat seorang tokoh pengamat
sejarah yang mengatakan, “Indonesia masih dijajah 1000 tahun lagi.” Ironis
memang. Namun hal tersebut membuktikan kepada kita bahwa Indonesia masih
mempunyai PR berat untuk memerdekakan bangsanya. Merdeka dalam berpikir,
merdeka dalam menyampaikan pendapat di muka umum.
Menulis menjadi salah satu metode
atau langkah untuk memerdekakan pola pikir siswa secara akademis. Ada ungkapan
menarik dari salah satu mentor saya, al-Ustaz Yudi Nurhadi. Beliau mengatakan, “Dengan
menjadi penulis, kita merdeka secara berpikir.” Di sela-sela wawancara, ada
kutipan menarik dari A. Fuadi (Novelis, Buku Negeri Lima Menara). Ia mengatakan,
“Jangan terlalu fokus kepada Iqra (membaca) tetapi harus Uktub (Menulis).
Kalimat sederhana tapi mempunyai
makna yang dalam. Sebab, sepanjang penulis ketahui masih kurangnya perhatian
dunia/lembaga pendidikan terhadap ranah literasi yang khusus pada bidang
menulis. Akibatnya, nalar analisis pada siswa terkungkum dalam pemahaman yang
sempit dan cenderung berpikir pragmatis.
Hakikatnya,
lembaga pendidikan dan beragam aktifitas akademis di dalamnya tidak terlepas
dari budaya literasi. Mengingat hal ini akan menjadikan nalar berpikir kaum
terpelajar terpancing menjadi emosi berpikir kreatif akademis. Sumber buku perpustakaan
yang minim, kurangnya minat membaca nampaknya masih menjadi masalah yang
serius. Penyakit kronis yang amat susah untuk disembuhkan.
Dilansir dari situs CNN Indonesia. Minat baca masyarakat
Indonesia disebut masih rendah bila dibandingkan negara lain. Dari data
Perpustakaan Nasional tahun 2017, frekuensi membaca orang Indonesia rata-rata
hanya tiga sampai empat kali per minggu. Sementara jumlah buku yang dibaca
rata-rata hanya lima hingga sembilan buku per tahun.
Dliansir dari Kompas (9 april 2018) memberitakan tentang survei
Unesco di tahun 2012. Minat baca orang Indonesia mengkhawatirkan. Menurut
survei UNESCO 2012, minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen: di
antara 1.000 warga negara Indonesia, hanya ada seorang yang serius baca.
Miris memang. Namun seperti itu realita di lapangan. Menulis memang
mempunyai manfaat yang beragam. Salah satunya adalah pemikiran kita bisa
dikenal oleh seseorang. Manfaat menulis tidak akan hilang meskipun penulis
sudah terkubur di dalam tanah. Teringat ungkapan Chairil Anwar, “Aku ingin
hidup 1000 tahun lagi.” Terbukti. Sampai saat ini karya-karyanya masih bisa
dinikmati penikmat sastra.
Tidak lupa ulama-ulama terdahulu yang saat karya pemikiran mereka “Tertulis”
dalam bentuk kitab-kitab klasik. Masih bermanfaat keilmuannya. Terbayang,
seberapa besar keberkahan/pahala yang mengalir hingga saat ini. Namun, dalam
tulisan ini hanya mengajak pembaca untuk menuju kemerdekaan berpikir. Tidak terkekang
dalam pemahaman yang sempit.
Untuk itu, tatkala lembaga pendidikan tidak memperhatikan dunia
literasi. Maka bersiap-siaplah mencetak generasi pelajar pragmatis. Hal yang
menjadi problematika besar adalah, pendidik tidak mampu membedakan antara
lembaga pendidikan dan lembaga bisnis. Tidak pula mampu menganalisis lembaga
pendidikan dan lembaga politik. Mengejar kuantitas tetapi apatis terhadap
kualitas.
No comments:
Post a Comment